Rabu, 04 Januari 2012

MEMPERINGATI HARI JILBAB INTERNASIONAL

Mungkin hampir sepenuhnya umat muslim di dunia terutama para kaum hawa tidak mengetahui kapan jilbab dikonfrensikan dan ditetapkan hari jadinya. Sangat mungkin karena tidak ada media yang menggelembungkannya, ditambah kondisi muslimah yang tidak terlalu agresif mencari informasi kekinian.
Seperti yang dilansir oleh eramuslim (14/07/2004), Konferensi Pro-Hijab yang berlangsung Senin (12/7) di ibukota Inggris, London. Konfrensi ini berakhir dengan sebuah petisi dukungan terhadap jilbab. Seluruh peserta konferensi juga sepakat menetapkan hari solidaritas jilbab internasional, dan rencana aksi untuk tetap membela hak wanita Muslim mempertahankan busana taqwa mereka.
Mengambil tema “Assembly for the Protection of Hijab” (Majelis Untuk Perlindungan Hijab), konferensi pada kesempatan itu mendeklarasikan, bahwa 4 September sebagai International Hijab Solidarity Day (Hari Solidaritas Jilbab Internasional). Karena para mahasiswa/pelajar Muslim di seluruh Eropa akan kembali ke sekolah pada saat itu. Para peserta juga bersumpah akan tetap berjuang membela para gadis muda Muslim yang mendapat perlakuan diskriminatif masyarakat barat hanya lantaran jilbab mereka. Selanjutnya konferensi mencetuskan rencana aksi untuk mengokohkan rekomendasi-rekomendasi konferensi pro-hijab London tersebut. Di antaranya dengan menyerukan para kaum terpelajar tentang pentingnya hijab bagi wanita Muslim, melalui seminar-seminar dan publikasi media-media massa.

Koordinator Pro-Hijab, Abeer Pharaoh, mengungkapkan pada IslamOnline.net (IOL), bahwa seluruh peserta konferensi telah membahas soal “larangan hijab, implikasi dan dampaknya terhadap masyarakat Eropa.” Mereka juga bersepakat akan mengorganisir upaya-upaya individu dan organisasi-organisasi di Eropa, serta di seluruh dunia, untuk mempertahankan hak berjilbab bagi wanita Muslim. Abeer juga menggarisbawahi, bahwa “majelis hijab telah menerima dukungan banyak organisasi-organisasi Muslim maupun non-Muslim dari berbagai keyakinan dan komunitas yang berbeda.” Dukungan, lanjutnya, juga mengalir dari sejumlah anggota parlemen Inggris dan parlemen Eropa.  “Kampanye ini bukan hanya untuk wanita Muslim semata. Aksi ini ditujukan bagi siapa saja yang percaya bahwa merupakan hak seorang wanita Muslim untuk bisa mengenakan jilbabnya tanpa perlakuan diskriminatif dari masyarakat maupun pemerintahnya.”
Jilbab; Antara Kesucian dan Resistensi
Wacana publik tentang jilbab seringkali berputar-putar pada pertanyaan: Apakah ia sebuah ekspresi kultural Arab ataukah substansi ajaran agama; Apakah ia sebuah simbol kesalehan dan ketaatan seseorang terhadap otoritas agama ataukah simbol perlawanan dan pengukuhan identitas seseorang? Banyak feminis beraliran Barat memandangnya sebagai sebuah bias kultur patriarkhi serta tanda keterbelakangan, subordinasi dan penindasan terhadap perempuan. Fatima Mernissi, misalnya, menggugat bahwa jilbab hanya menjadi penghalang yang menyembunyikan kaum wanita dari ruang publik (Pemberontakan Wanita: 1996). Tapi di sisi lain, jilbab dianggap sebagai pembebas dan ruang negosiasi perempuan. Pada titik ini, jilbab sebenarnya masuk pada arena kontestasi sebuah permainan makna dan tafsir. Relasi-kuasa bermain dan saling tarik antara kalangan agamawan normatif dan feminis liberal; antara atas nama kepentingan norma (tabu, aurat, kesucian, dan privasi) dan atas nama kebebasan perempuan (ruang gerak, persamaan dll).
Islam mengutarakan kepada umatnya tentang kewajiban berjilbab dalam Al-Qur’an yaitu Q.s al-Nur [24]: 31 dan al-Ahzab [33]: 59). Al-Qur’an sudah sangat jelas mendeskripsikannya. Hijab, yang secara lughoh berarti tirai atau dinding, adalah satu terminologi yang bisa berarti perlindungan wanita dalam Islam dari pandangan laki-laki (terutama yang bukan Muhrim). Salah satu prinsip dasar Islam adalah pewujudan suatu sistem yang suci, sehingga Islam senantiasa berusaha mendidik setiap anggota masyarakat, pria maupun wanita, untuk menjadi manusia yang bertaqwa, disiplin, dan menjaga kesucian mereka. Diantara pendidikan yang penting adalah dengan latihan agar manusia berdisiplin atas kecenderungan mereka terhadap jenis yang lain dan agar kecenderungan-kecenderungan ini hanya disalurkan melalui jalan yang halal. Untuk tujuan ini Islam membuat satu peraturan yang bernama hijab.
Di sisi lain, ternyata ada sebagaian umat muslim masih meragukan akan kewajiban pemakain jilbab bagi para wanita. Asumsinya, Dalam konteks kekinian, jilbab juga menjadi simbol identitas, status, kelas dan kekuasaan. Menurut Crawley, misalnya, pakaian adalah ekspresi yang paling khas dalam bentuk material dari berbagai tingkatan kehidupan sosial sehingga jilbab menjadi sebuah eksistensi sosial, dan individu dalam komunitasnya (Al Guindi 117). Di Afrika Utara, jilbab menjadi pembungkam perempuan dalam wilayah publik secara umum. Namun, kadangkala juga kerap digunakan oleh perempuan pedesaan bepergian di luar wilayah mereka. (Sharma 1978: 223-4).
Disamping itu, kaum liberalis dan feminis mengkritik jilbab dari segi sejarah. Sebut saja Nong Darol Mahmada, mengatakan bahwa konsep hijab bukanlah milik Islam. Misalnya dalam kitab Taurat, kitab suci agama Yahudi, sudah dikenal beberapa istilah yang semakna dengan hijb seperti tiferet. Demikian pula dalam kitab Injil yang merupakan kitab suci agama Nasrani juga ditemukan istilah semakna. Misalnya istilah zammah, realah, zaif dan mitpahat. Lebih jauh lagi, jilbab hanya dosa asal dari hawa (istri adam).
Tetapi perlu dingat, jilbab juga menjadi simbol pembebasan dan resistensi. Sebagai gerakan resistensi, ia tak hanya berhenti pada masyarakat Timur Tengah, melainkan terejawantah dalam masyarakat muslim modern di berbagai belahan dunia. Resistensi adalah sebuah perlawanan atau strategi untuk mengukuhkan eksistensi seseorang atau suatu komunitas.
Jilbab: Citra Intelektual dan Spiritual
Meminjam istilah Retno W. Wulandari, Berjilbab,  dengan demikian, menjadi suatu  tanta-ngan untuk mendapatkan citra intelektual dan spiritual bagi Muslimah tradisional di tengah-tengah arus modernitas. Sebagai suatu tantangan, Muslimah tradisional memestikan dirinya untuk meningkatkan ilmu pengetahuannya. Baik yang bersifat teoretis maupun praktis. Pada gilirannya, Muslimah tradisional memes-tikan dirinya  untuk  bisa senantiasa  mencerap Ke-indahan Tuhan, kedekatannya  dengan  Yang Kudus (marifatullah) sehingga dengan citra spiritual yang bisa diperolehnya akan mampu memanifestasikan akhlak Jamaliyyah Allah dalam dirinya dan menjadi barakah kepada orang tuanya,  suaminya, anak-anak-nya, tetangga-tetangganya, dan komunitas manusia sepanjang sejarah.
Jilbab berfungsi sebagai bahasa yang menyampaikan pesan-pesan sosial dan budaya, sebuah praktek yang telah hadir dalam legenda sepanjang jaman. Jilbab menjadi sebuah simbol fundamental yang bermakna ideologis bagi umat Kristen, khusus bagi Katholik merupakan bagian pandangan kewanitaan dan kesolehan. Dalam pergerakan Islam, jilbab juga memiliki posisi penting sebagai simbol identitas dan resistensi. jilbab sebagai sebuah gerakan yang tak terpisah dari gerakan massa saat itu. Pakaian menjadi “garis depan” pertempuran yang berkecamuk antara pembela masyarakat Islam melawan ekstrem sekuler.
 Kekalahan Mesir tahun 1967 dan 1973 dari Israel adalah dua peristiwa sosial politik yang cukup berpengaruh pada gerakan Islam dan perkembangannya sampai saat ini. Kemenangan Mesir tahun 1973 atas Israel ini mematahkan mitos Israel tak terkalahkan. Sejalan kemenangan itu, di Mesir terjadi apa yang disebut “gerakan religius”. Pemuda dan mahasiswa mulai berpakaian secara berbeda, berperilaku yang lebih konservatif. Mereka menyebut pakaiannya sebagai al ziyy al-Islami (pakaian Islami). Namun hal itu tidak membatasi ruang gerak mereka di wilayah publik Mesir meski pada waktu itu pakaian Islami tersebut terhitung baru di Mesir.
Ada satu bukti tak terbantahkan yang berhasil ditunjukkan Iran, yaitu: jilbab dihadirkan bukan untuk mengekang perempuan. Apa buktinya? Di Iran, semua lapangan pekerjaan bisa dipegang oleh perempuan, mulai dari wakil presiden (menjadi presiden memang belum pernah terjadi, meskipun dibenarkan oleh undang-undang),  pilot, insinyur, dokter, sopir taksi, petani, penyanyi, olahragawan, dan bintang film. Pada Asian Games di Busan yang lalu, seorang perempuan Iran –lengkap dengan jilbabnya—berhasil meraih medali perunggu taekwondo.
Sentimen Anti Hijab, Sebuah Pelanggaran HAM
Dewasa ini, sebagian besar media massa Barat, baik cetak maupun elektronik, berusaha untuk menampilkan wajah Islam secara tidak benar. Contoh nyata dari upaya ini adalah kesan terorisme yang ditujukan kepada gerakan intifadah rakyat Palestina dalam menghadapi aksi kejahatan rezim Zionis Israel atau diperkenalkannya Islam sebagai biang terorisme selepas peristiwa 11 September. Masalah hak asasi manusia dalam Islam juga merupakan salah satu sasaran serangan media massa Barat. Apalagi, sebagian besar media massa di Barat, seperti Perancis, Jerman, dan Inggris, umumnya berada dalam genggaman para kapitalis Yahudi yang menyimpan dendam mendalam terhadap Islam yang berakar sejak mulai munculnya Islam berabad-abad yang lampau.
Jika kita melihat secara teliti, akan tampak bahwa negara-negara yang secara ZAHIR mengumbar isu hak asasi manusia dan demokrasi, justru yang pertama-tama melecehkan kehormatan bangsa-bangsa lain dan melanjutkan kezaliman dan diskriminasi terhadap yang lain. Dengan melihat kepada beberapa pasal dari Piagam Hak Asasi Manusia, kita akan melihat bahwa sesungguhnya sentimen anti hijab yang terjadi di negara-negara Eropa adalah sebuah pelanggaran hak asasi manusia.
Pasal ketiga Piagam Hak Asasi Manusia menyebutkan, “Setiap orang mendapat hak kebebasan individu dan keamanan.” Sedangkan dalam pasal kelima disebutkan: Tidak ada siapapun yang boleh disiksa atau dianiaya secara tidak manusiawi, atau menjadi sasaran penghinaan. Pasal 18 dan 19 dari piagam itu mengungkapkan: Setiap orang mempunyai hak kebebasan agama, berpendapat, berkeyakinan, dan kebebasan bersuara.
4 September setidaknya bisa dijadikan momentum untuk kebangkitan muslimah dengan mengadakan kewajiban ber-hijab/jilbab dalam kesehariannya. Sangatlah naif, ketika sudah sampai kabar gembira lantas kita bersedih. Jilbab adalah bentuk perjuangan wanita akan eksistensinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar