Sabtu, 30 Juni 2012

Contoh Proposal Penelitian Evaluasi Program

Evaluasi Program Pendidikan Sistem Ganda pada SMK 5 Makassar


I.               Pendahuluan
A.           Latar Belakang
Memasuki kerjasama ekonomi Negara-negara Asia Tenggara melalui Kawasan Perdagangan Bebas Asean (Asean Free Trade Area/AFTA) sejak tahun 2003 dan pasar bebas dunia tahun 2020 akan menimbulkan persaingan ketat baik barang jadi/komoditas maupun jasa. Ini berarti Indonesia harus meningkatkan daya saing baik mutu hasil produksi maupun jasa. Peningkatan daya saing ini dimulai dari penyiapan Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas yang merupakan faktor keunggulan menghadapi persaingan dimaksud. Jika kita tidak bisa mengantisipasi persiapan SDM yang berkualitas antara lain, berpendidikan, memiliki keahlian dan keterampilan terutama bagi tenaga kerja dalam jumlah yang memadai, maka Indonesia akan menjadi korban perdagangan bebas. Oleh karena itu, negara kita perlu menyiapkan SDM pada tingkat menengah yang memiliki kemampuan yang sesuai dengan kebutuhan industri atau dunia usaha. SDM dimaksud perlu dipersiapkan baik oleh pemerintah melalui DEPDIKNAS, DEPNAKER, dan/atau Departemen Perdagangan maupun oleh swasta melalui KADIN serta oleh masyarakat pengguna jasa.
Kepala Badan Pusat Statistik Jakarta menyatakan, bahwa Jumlah angkatan kerja yang menganggur hingga Februari 2005 mencapai10,9 juta orang. Tambahan pengangguran terjadi karena peningkatan angkatan kerja lebih besar daripada ketersediaan lapangan kerja. Jumlah angkatan kerja bertambah 1,8 juta orang yakni dari 104 juta orang pada Agustus 2004 sampai dengan Februari 2005 meningkat menjadi 105,8 juta orang (Maksum, 2005:1). Di Sulawesi Selatan pada akhir tahun 2002 dari sekitar 3,14 juta penduduk tercatat sekitar 0,12% juta orang (3,75%) adalah angkatan kerja sedang pencari pekerjaan sekitar 117.296 orang meningkat sebesar 35,71%. Hal ini menunjukkan bahwa lowongan pekerjaan belum dapat menampung seluruh pencari kerja (Marsudi, dkk, 2008:1). Hal senada disampaikan oleh Presiden Republik Indonesia (Yudhoyono, 2006:1), bahwa pemerintah juga menargetkan penciptaan lapangan kerja untuk mengurangi jumlah tingkat pengangguran yang saat ini berkisar 10,24 persen dari total angkatan kerja. Oleh karena itu perlu ada reformasi dalam sistem pendidikan yang mampu menghasilkan sumber daya manusia yang siap kerja. Jika tidak, maka pendidikan hanya menghasilkan pengangguran baru yang tidak terserap di lapangan kerja.

Sekaitan dengan keterserapan SMK di dunia kerja, menurut (Samsudi, 2008:1) dalam pidato Dies Natalis ke-43 UNNES mengatakan, idealnya secara nasional lulusan SMK yang bisa langsung memasuki dunia kerja sekitar 80-85%, sedang selama ini yang terserap baru 61%. Pada tahun 2006 lulusan SMK di Indonesia mencapai 628.285 orang, sedangkan proyeksi penyerapan atau kebutuhan tenaga kerja lulusan SMK tahun 2007 hanya 385.986 atau sekitar 61,43%.
Menghadapi kondisi tersebut di atas, pendidikan menengah kejuruan diperhadapkan pada berbagai permasalahan, antara lain: masalah konsepsi, program dan operasional pendidikan. Jika masalah ini dilihat dari segi konsepsi, maka dapat digambarkan dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) pendidikan kejuruan berorientasi pada pasokan (supply driven oriented), tidak pada permintaan (demand-driven); (2) program pendidikan kejuruan hanya berbasis sekolah (school-based program); (3) tidak adanya pengakuan terhadap pengalaman belajar yang diperoleh sebelumnya (no recognition of prior learning); (4) kebuntuan (dead-end) karier tamatan SMK; (5) guru-guru SMK tidak berpengalaman industri (no industrial experience); (6) adanya tanggapan keliru bahwa pendidikan hanya merupakan tanggung jawab Depdikbud/Depdiknas; (7) pendidikan kejuruan lebih berorientasi pada lapangan kerja sektor formal; dan (8) ketergantungan SMK kepada subsidi pemerintah terutama dibidang pembiayaan (Soenaryo, 2002:223).
Sejak Pelita VI, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro, telah memperkenalkan kebijakan baru untuk perubahan pendidikan kejuruan yang disebut “link and match”. Secara harfiah “link” berarti terkait, menyangkut proses yang terus interaktif, dan “match” berarti cocok, menyangkut hasil harus sesuai atau sepadan, sehingga “link and match” sering diterjemahkan menjadi “terkait dan cocok/sepadan”. Mengacu pada konsep ini, diharapkan terdapat keterkaitan dan kecocokan antara dunia pendidikan dengan dunia kerja, yang mana orientasi pendidikan kejuruan dan pelatihan sumber daya manusia diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja. Untuk itu diperlukan penerapan konsep keterkaitan dan kecocokan (Link and match) dalam berbagai kebijakan dan program-program pendidikan. Beberapa prinsip utama dari konsep tersebut yaitu: (1) sistem pendidikan harus terkait dan sepadan dengan kebutuhan yang terus berkembang dari berbagai sektor industri akan tenaga kerja yang menguasai keterampilan dan keahlian profesional dalam berbagai cabang IPTEK; (2) sistem pendidikan harus terkait dan sepadan dengan nilai, sikap, perilaku, dan etos kerja masyarakat yang sudah mulai mengarah pada era industri dan teknologi; dan (3) sistem pendidikan harus terkait dan sepadan dengan masa depan yang akan ditandai dengan perubahan dan perkembangan yang terus berlangsung (Suryadi, 1977:19).
Di Sulawesi Selatan terdapat 186 SMK yang terdiri dari 44 sekolah negeri dan 142 sekolah swasta (Statistik Persekolahan SMK, 2004:63). Dari jumlah SMK di Sulawesi Selatan tesebut, seluruhnya melaksanakan PSG sesuai dengan program sekolah masing-masing. Salah satu SMK yang telah melaksanakan PSG sejak tahun 1999 adalah SMK Negeri 5 Makassar yang sampai saat ini belum pernah dilakukan evaluasi untuk mengetahui apakah visi dan misi yang telah ditetapkan bisa tercapai atau tidak. Evaluasi yang dilakukan baru dari aspek menilai hasil belajar peserta didik yang berupa EBTA, Uji Kompetensi, EBTANAS, UAN/UN dan Ujian Nasional Komponen Produktif dengan pendekatan project work (kerja proyek) untuk mata diklat produktif, akan tetapi evaluasi program secara keseluruhan belum pernah dilakukan. Untuk melihat efektivitas pelaksanaan program tidak hanya dilihat dari faktor siswanya saja tetapi faktor-faktor lain harus diperhatikan juga. Misalnya; guru, kurikulum, sarana dan prasarana, pembiayaan, kegiatan belajar mengajar disekolah, kegiatan praktik kerja di industri, hubungan industri atau institusi pasangan dan faktor lainnya.
Dari permasalahan tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian secara mendalam berupa evaluasi program “Pendidikan Sistem Ganda” (PSG) pada SMK Negeri 5 Makassar.
B.            Identifikasi Masalah
Program Pendidikan Sistem Ganda (PSG) adalah suatu program pendidikan yang ada di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Indonesia, merupakan kebijakan pendidikan yang dimulai pada saat Prof. Dr. Ing Wardiman Djojonegoro sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1994. Sebagai program yang baru berkembang, belum banyak referensi atau laporan hasil evaluasi yang telah mencoba untuk melihat efektifitas program tersebut. Oleh karena itu agar penelitian ini tidak mengalami perbedaan yang luas, maka perlu untuk diidentifikasi dan dibatasi. Batasan-batasan konseptual mencakup pada persoalan esensial yang berhubungan langsung dengan penyelenggaraan program pendidikan sistem ganda meliputi: masukan (anttecedents), proses (transactions) dan hasil (outcomes/output).
Kemudian batasan objek penelitian ini dilaksanakan pada sebuah SMK yaitu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Makassar Program Keahlian Listrik Industri di Makassar Provinsi Sulawesi Selatan yang merupakan salah satu sekolah yang melaksanakan program pendidikan sistem ganda sejak tahun 1993/1994 hingga sekarang.
C.           Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang dan pembatasan masalah, maka masalah penelitian ini menitik beratkan pada evaluasi pelaksanaan program yaitu bagaimanakah efektivitas pelaksanaan pendidikan sistem ganda berdasarkan standar objektif atau kriteria yang telah ditentukan ditinjau dari tahapan-tahapan masukan (antecedents), proses (transactions), dan hasil (outcomes).
Adapun rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah prosedur rekruitmen peserta didik, persyaratan administrasi guru produktif, pengembangan kurikulum dengan keterlibatan industri/asosiasi, kalender pendidikan, ketersediaan sarana dan prasarana di sekolah dan di industri (institusi pasangan) sehingga dapat mendukung tercapainya tujuan yang ditetapkan, serta pembiayaan pelaksanaan program sistem ganda pada tahapan masukan (Antecedents) di SMKN 5 Makassar?
2.      Bagaimanakah kegiatan pembelajar di sekolah yang terdiri dari; penguasaan guru dalam penyiapan administrasi/bahan pembelajaran, penguasaan guru dalam kegiatan pembelajaran,interaksi guru dan siswa, pengelolaan praktek kerja siswa; dan bagaimana kegiatan pelatihan kerja di industri (institusi pasangan) yang terdiri dari; identitas industri; kompetensi instruktur; dan proses praktek kerja di industri (institusi pasangan), pelaksanaan program pendidikan sistem ganda pada tahapan proses (transactions) SMKN 5 Makassar?
3.      Bagaimanakah hasil ujian nasional, hasil ujian nasional komponen produktif dengan pendekatan project work; dan sertifikasi; dan keterserapan tamatan di dunia kerja pada tahapan hasil (outcomes) di SMKN 5 Makassar?
D.           Tujuan Evaluasi
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan efektivitas program PSG pada SMKN 5 Makassar yang pada prinsipnya menuju pada perbaikan dan penyempurnaan program. Sebagai penelitian evaluatif juga ingin diketahui komponen-komponen apa saja yang mempengaruhi efektivitas program. Secara operasional penelitian evaluasi pada setiap komponen masukan (antecedents), proses (transactions) dan hasil (outcomes) bertujuan yaitu:
1.      Mengetahui efektivitas program PSG yang berhubungan dengan sistem rekruitmen peserta didik, persyaratan administrasi guru, kurikulum dengan keterlibatan industri/asosiasi, realisasi kalender pendidikan, ketersediaan sarana dan prasarana di sekolah dan di industri (institusi pasangan) sehingga dapat mendukung tercapainya tujuan yang ditetapkan, serta pembiayaan pelaksanaan program sistem ganda pada tahapan masukan (antecedent) di SMKN 5 Makassar.
2.      Mengetahui efektivitas program PSG yang berhubungan dengan penguasaan guru dalam penyiapan administrasi/bahan pembelajaran, penguasaan guru dalam kegiatan pembelajaran, Interaksi guru dengan peserta didik, dan pengelolaan praktek kerja industri di sekolah sedangkan di di industri (institusi pasangan) mencakup; identitas industri, kompetensi instruktur dan proses praktek kerja siswa di industri (institusi pasangan) pelaksanaan program PSG pada tahapan proses (transactions) di SMKN 5 Makassar
3.      Mengetahui efektivitas program PSG yang berhubungan dengan hasil ujian nasional dan uji nasional komponen produktif dengan pendekatan project work dan sertifikasi, dan keterserapan tamatan pada dunia kerja, pada tahapan hasil (outcomes) di SMKN 5 Makassar.

E.            Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pendidikan kejuruan baik secara teoretis maupun praktis;
1.       Teoretis, diharapkan berguna sebagai bahan untuk memperjelas konsepsi tentang program Pendidikan Sistem Ganda (PSG).
2.       Praktis, dapat dipergunakan sebagai salah satu bahan informasi kepada pihak pengambil keputusan dalam menyelenggarakan Pendidikan Sistem Ganda (PSG), yaitu; (a) Kepala SMKN 5 Makassar sebagai penyelenggara program pendidikan sistem ganda (PSG); (b) Kepala Dinas Pendidikan Sulawesi Selatan melalui Kepala Sub Dinas Pendidikan Kejuruan Provinsi Sulawesi Selatan; (c) Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Makassar; d) Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional; (e) Industri (institusi pasangan) sebagai pihak yang menerima siswa praktek kerja;
3.       Siswa yang mengikuti Pendidikan Sistem Ganda (PSG).
4.       Menjadi contoh atau model Pendidikan Sistem Ganda (PSG) Bidang Keahlian Listrik Industri atau Bidang Keahlian lainnya pada SMK.
5.       Memberikan kontribusi berarti bagi pengembangan khasanah ilmu pendidikan khususnya Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan (PEP) di Universitas Negeri Makassar (UNM).

II.            Tinjauan Pustaka, Kerangka Pikir, dan Pertanyaan Evaluasi
A.           Tinjauan Pustaka
1.    Pengertian Evaluasi
Berbagai macam evaluasi yang dikenal dalam bidang kajian ilmu. Salah satunya adalah evaluasi program yang banyak digunakan dalam kajian kependidikan. Evaluasi program mengalami perkembangan yang berarti sejak Ralph Tyler, Scriven, John B. Owen, Lee Cronbach, Daniel Stufflebeam, Marvin Alkin, Malcolm Provus, R. Brinkerhoff dan lainnya. Banyaknya kajian evaluasi program yang membawa implikasi semakin banyaknya model evaluasi yang berbeda cara dan penyajiannya, namun jika ditelusuri semua model bermuara kepada satu tujuan yang sama yaitu menyediakan informasi dalam kerangka “decision” atau keputusan bagi pengambil kebijakan.
Terdapat beberapa definisi tentang evaluasi yang dikemukan oleh pakar, diantaranya: (Kufman and Thomas, 1980:4) menyatakan bahwa evaluasi adalah proses yang digunakan untuk menilai. Hal senada dikemukakan oleh (Djaali, Mulyono dan Ramly, 2000:3) mendefinisikan evaluasi dapat diartikan sebagai proses menilai sesuatu berdasarkan kriteria atau standar objektif yang dievaluasi. Selanjutnya (Sanders, 1994:3) sebagai ketua The Joint Committee on Standars for Educational Evaluation mendefinisikan evaluasi sebagai kegiatan investigasi yang sistimatis tentang kebenaran atau keberhasilan suatu tujuan.
Evaluasi program menurut Joint Commite yang dikutip oleh (Brinkerhof, 1986:xv) adalah aktivitas investigasi yang sistematis tentang sesuatu yang berharga dan bernilai dari suatu obyek. Pendapat lain (Denzin and Lincoln, 2000:983) mengatakan bahwa evaluasi program berorientasi sekitar perhatian dari penentu kebijakan dari penyandang dana secara karakteristik memasukkan pertanyaan penyebab tentang tingkat terhadap mana program telah mencapai tujuan yang diinginkan. Selanjutnya menurut (McNamara, 2008:3) mengatakan evaluasi program mengumpulkan informasi tentang suatu program atau beberapa aspek dari suatu program guna membuat keputusan penting tentang program tersebut. Keputusan-keputusan yang diambil dijadikan sebagai indikator-indikator penilaian kinerja atau assessment performance pada setiap tahapan evaluasi dalam tiga kategori yaitu rendah, moderat dan tinggi (Issac and Michael, 1982:22).
Berangkat dari pengertian di atas maka evaluasi program merupakan suatu proses. Secara eksplisit evaluasi mengacu pada pencapaian tujuan sedangkan secara implisit evaluasi harus membandingkan apa yang telah dicapai dari program dengan apa yang seharusnya dicapai berdasarkan standar yang telah ditetapkan. Dalam konteks pelaksanan program, kriteria yang dimaksud adalah kriteria keberhasilan pelaksanaan dan hal yang dinilai adalah hasil atau prosesnya itu sendiri dalam rangka pengambilan keputusan. Evaluasi dapat digunakan untuk memeriksa tingkat keberhasilan program berkaitan dengan lingkungan program dengan suatu “judgement” apakah program diteruskan, ditunda, ditingkatkan, dikembangkan, diterima atau ditolak.
2.    Model Riset Evaluasi
Model evaluasi yang digunakan adalah Stake’s Countenance Model, Center for Instructional Research and Curriculum Evaluation University of Illinois. Model Stake’s sama dengan model CIPP dan CSE-UCLA (Center for Study of Evaluation at the University of California at Los Angeles) dimana ketiganya cendrung komprehensip dan mulai dari proses evaluasi selama tahap perencanaan dari pengembangan program (Kaufman and Susan, 1980:123). Stake mengidentifikasi 3 (tiga) tahap dari evaluasi program pendidikan dan faktor yang mempengaruhinya yaitu:
a.    Antecedents phase; sebelum program diimplementasikan: Kondisi/ kejadian apa yang ada sebelum implementasi program? Apakah kondisi/kejadian ini akan mempengaruhi program?
b.    Transactions phase; pelaksanaan program: Apakah yang sebenarnya terjadi selama program dilaksanakan? Apakah program yang sedang dilaksanakan itu sesuai dengan rencana program?
c.    Outcomes phase, mengetahui akibat emplementasi pada akhir program. Apakah program itu dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan? Apakah klien menunjukkan perilaku pada level yang tinggi dibanding dengan pada saat mereka berada sebelum program dilaksanakan? (Kaufman,1982:123). Setiap tahapan tersebut dibagi menjadi dua bagian aitu description (deskripsi) dan judgment (penilian)
Model Stake akan dapat memberikan gambaran pelaksanaan program secara mendalam dan mendetail. Oleh karena itu persepsi orang-orang yang terlibat dalam sistem pendidikan seperti perilaku guru, peran kepala sekolah, peran industri, perilaku siswa dan situasi proses belajar mengajar di sekolah dan pelatihan kerja di industri adalah kenyataan yang harus diperhatikan.
3.    Pendidikan Kejuruan
Pendidikan adalah suatu proses dalam rangka mempengaruhi siswa agar dapat menyesuaikan diri sebaik mungkin terhadap lingkungannya dan dengan dalam dirinya yang memungkinkannya untuk berfungsi secara adekuat dalam kehidupan masyarakat. (Hamalik, 2004:79). Sedangkan menurut pasal 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Selain itu (Dewey, 2002:1) mengatakan bahwa pendidikan merupakan pengembangan diri dalam kodrat manusia. Ahli lain (Soedijarto, 1998:91) mengatakan pendidikan adalah suatu usaha manusia yang penting untuk memelihara, mempertahankan, dan mengembangkan masyarakat.

a.    Pengertian dan Fungsi Pendidikan Kejuruan
Pendidikan kejuruan mempunyai pengertian yang bervariasi menurut subjektivitas perumus. Menurut Rupert Evans yang dikutip (Djojonegoro, 1999:33) mendefinisikan bahwa pendidikan kejuruan adalah bagian dari sistem pendidikan yang mempersiapkan seseorang agar lebih mampu bekerja pada satu kelompok pekerjaan atau satu bidang pekerjaan daripada bidang-bidang pekerjaan lain.
Untuk menghasilkan tamatan SMK yang siap memasuki lapangan kerja,maka tamatan SMK tersebut harus merupakan manusia yang produktif. Menurut (Adner, 1998:12) bahwa manusia produktif adalah yang memiliki keterampilan untuk suatu tingkat tertentu dan siap dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan ekonomi dan teknologi yang terus berkembang. Sedangkan menurut (Carnevalu & Porro, 1994:9) berpendapat, orang yang berpendidikan baik dan terampil berpeluang untuk tampil beda, bahkan dalam keadaan krisis ekonomi sekalipun mereka dapat tetap eksis serta terhindar dari kemiskinan dan pengangguran.
Untuk mendapat keterampilan tidak cukup peserta didik belajar di sekolah tetapi harus didapat melalui “on the job training” yaitu belajar dari pekerja yang sudah berpengalaman di industri, disinilah letak pentingnya konsep pendidikan sistem ganda (PSG) untuk menghasilkan tenaga yang terampil. Oleh karena itu sulit diharapkan dapat membentuk keahlian profesional pada diri peserta didik tanpa partisipasi industri.

b.   Model-model Pendidikan kejuruan
Berbagai model dalam pendidikan kejuruan yaitu:
1)   Model 1. Pemerintah tidak mempunyai peran, atau hanya peran maginal dalam proses kualifikasi pendidikan kejuruan. Model ini sifatnya liberal, namun kita dapat mengatakanya sebagai model berorientasi pasar (market oriented Model) permintaan tenaga kerja. Perusahaan-perusahaan sebagai pemeran utama berhak menciptakan disain pendidikan kejuruan yang tidak harus berdasarkan prinsip pendidikan yang bersifat umum, dan mereka tidak dapat diusik oleh pemerintah karena yang menjadi sponsor, dana dan lainnya adalah dari perusahaan. Beberapa negara penganut model ini adalah Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat.
2)   Model 2. Pemerintah sendiri merencanakan, mengorganisasikan dan mengontrol pendidikan kejuruan. Model ini sifatnya birokrat, pemerintah dalam hal ini yang menentukan jenis pendididikan apa yang harus dilaksanakan di perusahaan, bagaimana disain silabusnya, begitu pula dalam hal pendanaan dan pelatihan yang harus dilaksanakan oleh perusahaan tidak selalu berdasarkan permintaan kebutuhan tenaga kerja ataupun jenis pekerjaan saat itu. Walaupun model ini disebut juga model sekolah (school model), pelatihan dapat dilaksanakan di perusahaan sepenuhnya. Beberapa negara seperti; Perancis, Italia, Swedia serta banyak dunia ketiga juga melaksanakan model ini.
3)   Model 3. Pemerintah menyiapkan/memberikan kondisi yang relatif komprehensif dalam pendidikan kejuruan bagi perusahan-perusahaan swasta dan sponsor swasta lainnya. Model ini disebut juga model pasar dikontrol pemerintah (state controlled market) dan model inilah yang disebut model sistem ganda (dual system) sistem pembelajaran yang dilaksanakan di dua tempat yaitu sekolah kejuruan serta perusahaan yang keduanya bahu membahu dalam menciptakan kemampuan kerja yang handal bagi para lulusan pelatihan tersebut. Negara yang menggunakan sistem ini diantaranya Swiss, Austria dan Jerman (Hadi, 1996:44).
Dari ketiga model tersebut kecendrungan yang digunakan di Indonesia adalah “Model 3”, dimana pelaksanaan pendidikan sistem ganda dilaksanakan di dua tempat yaitu di sekolah dan di industri dengan berbagai pengembangannya.
4.    Pendidikan Sistem Ganda
Pendidikan sistem ganda (dual system) sudah berkembang lama di beberapa negara. Kerjasama antara Republik Arab Mesir dan Republik Federasi German berlangsung puluhan tahun yaitu sejak tahun 1950an keduanya telah bekerjasama dibidang pendidikan teknik dan pelatihan kejuruan. Pendidikan sistem ganda berkaitan dengan sistem pendidikan yang menekankan pendidikan teori dan praktek. Berabad-abad yang lalu, Jerman telah mengadopsi suatu sistem pendidikan sistem ganda dengan beberapa modifikasi dijalankan untuk mengatasi perubahan dalam masyarakat dan memenuhi permintaan masyarakat.
a.    Pengertian Pendidikan Sistem Ganda (PSG)
Pendidikan sistem ganda merupakan bentuk penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan keahlian kejuruan yang secara sistematik dan sinkron antara program pendidikan di sekolah dengan program penguasaan keahlian yang diperoleh melalui kegiatan bekerja langsung di dunia kerja, terarah untuk mencapai suatu tingkat keahlian profesional tertentu (Djojonegoro, 1999:46). Sedangkan menurut (Wena: 1997:30) mengatakan bahwa pemanfaatan dua lingkungan belajar di sekolah dan di luar sekolah dalam kegiatan proses pendidikan itulah yang disebut dengan program PSG. Hal senada dikemukan oleh (Nasir, 1998:21) mengatakan bahwa Pendidikan Sistem Ganda (PSG) ialah suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan kejuruan yang memadukan program pendidikan di sekolah dan program pelatihan di dunia kerja yang terarah untuk mencapai tujuan pendidikan kejuruan. Sedangkan pendidikan sistem ganda (dual system) adalah memadukan pelatihan kejuruan paruh waktu dikombinasikan dengan belajar paruh waktu. (The Educational System in Germany, 1999:1).
Dari pengertian diatas, tampak bahwa PSG mengandung beberapa pengertian, yaitu: (1) PSG terdiri dari gabungan subsistem pendidikan di sekolah dan subsistem pendidikan di dunia kerja/industri; (2) PSG merupakan program pendidikan yang secara khusus bergerak dalam penyelenggaraan pendidikan keahlian profesional; (3) penyelenggaraan program pendidikan di sekolah dan dunia kerja/industri dipadukan secara sistematis dan sinkron, sehingga mempu mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan; dan (4) proses penyelenggaraan pendidikan di dunia kerja lebih ditekankan pada kegiatan bekerja sambil belajar (learning by doing) secara langsung pada keadaan yang nyata.



b.   Tujuan Pendidikan Sistem Ganda
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan dengan pendekatan PSG bertujuan: (1) menghasilkan tenaga kerja yang memiliki keahlian profesional, yaitu tenaga kerja yang memiliki tingkat pengetahuan, keterampilan dan etos kerja
yang sesuai dengan tuntutan lapangan kerja; (2) meningkatkan dan memperkokoh keterkaitan dan kesepadanan/kecocokan (link and match) antara lembaga pendidikan dan pelatihan kejuruan dengan dunia kerja; (3)meningkatkan efisiensi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja berkualitas profesional dengan memanfaatkan sumberdaya pelatihan yang ada di dunia kerja; (4) memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap pengalaman kerja sebagai bagian dari proses pendidikan (Djojonegoro, 1999:75).
c.    Karakteristik Pendidikan Sistem Ganda (PSG)
Pelaksanaan PSG pada SMK sesuai dengan konsep sistem ganda memiliki karakteristik sebagai berikut: (a) Institusi Pasangan dan (b) Program Pendidikan dan Pelatihan Bersama yang tediri dari: (1) Standar Kompetensi/Keahlian Tamatan; (2) Standar Pendidikan dan Pelatihan (materi, waktu, pola pelaksanaan); (3) Penilaian dan Sertifikasi; (4) Kelembagaan; dan (5) Nilai Tambah dan insentif.
5.    Pendidikan Sistem Ganda di Sekolah Menengah Kejuruan
a.    Peserta Didik
Peserta didik sebagai individu yang belum dewasa, bukan berarti peserta didik sebagai makhluk yang lemah, tanpa memiliki potensi dan kemampuan. Peserta didik secara kodrati telah memilki potensi dan kemampuan-kemampuan atau talenta tertentu hanya peserta didik itu belum mencapai tingkat optimal dalam pengembangan talenta atau potensi kemampuan. Peserta didik merupakan sasaran (objek) dan sekaligus sebagai subjek pendidikan. Oleh karena itu pendidik dalam memahami hakekat peserta didik perlu dilengkapi dengan pemahaman tentang ciri-ciri yang dimiliki peserta didik yaitu: (1) kelemahan dan ketidak berdayaannya; (2) berkemauan keras untuk berkembang; dan (3) ingin menjadi diri sendiri (memperoleh kekuatan), (Ahmadi & Uhbiyati, 2001:251).
Sekolah Menengah Kejuruan adalah suatu lembaga pendidikan yang berfungsi memenuhi atau memuaskan kebutuhankebutuhan peserta didik dalam hal pendidikan. Pemenuhan kebutuhan peserta didik sangat penting dalam rangka pertumbuhan dan perkembangannya. Perkembangan peserta didik SMK harus mengacu kepada kerangka kebutuhan pendidikan nasional termasuk kebutuhan meningkatkan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan di dunia kerja.
b.   Kurikulum
Pengembangan kurikulum PSG bertujuan untuk meningkatkan kebermaknaan substansi kurikulum yang akan dipelajari di sekolah dan di Institusi
Pasangan sebagai satu kesatuan utuh dan saling melengkapi, serta pengaturan kegiatan belajar-mengajar yang dapat dijadikan acuan bagi para pengelola dan pelaku pendidikan di lapangan, sehingga pada gilirannya siswa dapat menguasai kompetensi yang relevan dan sesuai dengan yang dipersyaratkan. Kurikulum terdiri dari berbagai bentuk, salah satu diantaranya adalah kurikulum berbasis kompetensi (competecy based curriculum) yaitu semua kegiatan kurikulum diorganisasi ke arah fungsi atau kemampuan yang dituntut pasaran kerja atau dibidang pekerjaan (Shoate, 1992:2). Pendapat lain mengatakan bahwa kurikulum berbasis kompetensi adalah pengembangan kurikulum yang bertitik tolak dari kompetensi yang seharusnya dimiliki siswa setelah menyelesaikan pendidikan, yang meliputi pengetahuan, keterampilan, nilai dan pola berpikir serta bertindak sebagai refleksi dari pemahaman dan penghayatan dari apa yang telah dipelajari siswa (Siskandar, 2003:5).
Ada beberapa prinsip dalam pengembangan kurikulum PSG, yaitu selain berbasis kompetensi, berbasis produksi (production based), belajar tuntas (Mastery Learning), belajar melalui pengalaman langsung (learning by experience—doing), dan belajar perseorangan (Individualized Learning) yakni setiap siswa harus diberi kesempatan untuk maju dan berkembang sesuai dengan kemampuan dan irama perkembangannya masing-masing.
c.    Tenaga Kependidikan
1)   Kepala Sekolah
Kepala Sekolah merupakan salah satu komponen pendidikan yang paling berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Seperti yang diungkapkan “Supriadi” yang dikutip oleh E. Mulyasa mengatakan bahwa erat hubungannya antara mutu kepala sekolah dengan berbagai aspek kehidupan sekolah seperti: disiplin sekolah, iklim budaya sekolah, dan menurunnya perilaku nakal peserta didik (Mulyasa, 2004:24). Dalam pada itu, kepala sekolah bertanggung jawab atas manajemen pendidikan secara mikro, yang secara langsung berkaitan dengan proses pembelajaran di sekolah. Sebagaimana dikemukakan dalam pasal 12 ayat 1 PP nomor 28 tahun 1990, bahwa kepala sekolah bertanggung jawab atas penyelenggaraan kegiatan pendidikan administrasi sekolah, pembinaan tenaga kependidikan lainnya, dan pendayagunaan serta pemeliharaan sarana dan prasarana.
Menyadari hal tersebut, setiap kepala sekolah dihadapkan pada tantangan untuk melaksanakan pengembangan pendidikan secara terarah, berencana, dan berkesinambungan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dalam kapasitas tersebut, maka kepala sekolah harus memiliki visi dan misi, serta strategi manajemen pendidikan secara utuh dan berorientasi kepada mutu.
2)   Guru/Instruktur
Guru mempunyai tanggung jawab melihat segala sesuatu yang terjadi dalam kelas untuk membantu pengembangan siswa. Secara rinci peran guru dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan adalah: (1) mendidik siswa (memberikan pembimbingan dan pendorongan); (2) membantu perkembangan aspek-aspek  pribadi seperti sikap, nilai-nilai dan prilaku; (3) meningkatkan motivasi belajar siswa; (4) membantu setiap siswa agar dapat mempergunakan berbagai kesempatan belajar dan berbagai sumber serta media belajar secara efektif; (5) memberikan bantuan bagi siswa yang sulit belajar; (6) membantu siswa menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan pendidikan; dan (7) memberikan fasilitas yang memadai sehingga siswa dapat belajar secara efektif (Sutikno, 2004:22).
Tugas instruktur industri hampir sama dengan tugas guru di sekolah. Dengan demikian, keberhasilan praktik peserta didik di industri sangat tergantung kemampuan instruktur dalam melaksanakan tugasnya (Made Wena, 1997:39). Untuk itu instruktur diharapkan dapat membuat perencanaan segala aspek yang dibutuhkan untuk keperluan belajar peserta didik, mengevaluasi kemajuan belajar, dan memberikan bantuan pada siswa yang membutuhkan baik yang bersifat teknis maupun nonteknis.
d.   Proses Pembelajaran dan Pelatihan
Pembelajaran dan pelatihan senantiasa berpedoman pada kurikulum tertentu sesuai dengan tuntutan lembanga pendidikan/sekolah dari kebutuhan masyarakat serta faktor-faktor lainnya. Kegiatan Pendidikan Sistem Ganda (PSG) dilakukan pembelajaran di sekolah dan pelatihan di industri (institusi pasangan). Dalam hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)   Proses pembelajaran di Sekolah
Strategi Pembelajaran di sekolah menggunakan pembelajaran berbasis kompetensi (competency based training). Konsep pembelajaran berbasis kompetensi (competency based training) bukanlah konsep baru. sejak akhir tahun 1960 telah dikenal di Amerika Serikat yang dimulai dengan pendidikan guru. Kemudian berkembang untuk program pendidikan profesional lainnya di Amerika Serikat pada tahun 1970, kemudian dimanfaatkan untuk program pelatihan kejuruan di Inggris dan Jerman pada tahun 1980, serta untuk pelatihan kejuruan dan pengenalan keterampilan profesional di Australia pada tahun 1990, (Bowden John A: 2008:).
Pembelajaran berbasis kompetensi (competency based training) berkembang di Indonesia sejak dimulainya kebijakan keterkaitan dan kesepadanan (link and match) yang dimanifestasikan dalam program Pendidikan Sistem Ganda (PSG) di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) pada tahun 1993/1994. Dalam rangka inilah dibutuhkan implementasi pelatihan berbasis kompetensi (competency based training). Konsep pelatihan berbasis kompetensi pada hakekatnya berfokus pada apa yang dapat dilakukan oleh seseorang (kompeten) sebagai hasil atau output dari pembelajaran. Pembelajaran berbasis kompetensi memiliki perhatian yang lebih besar keterkaitan dengan dunia kerja daripada program pendidikan formal, (Wibowo & Tjiptono, 2002:101).
Selain itu, pelatihan berbasis kompetensi adalah pelatihan yang disesuaikan dengan capaian dan untuk mempraktekkan keterampilan guna memenuhi Standar Spesifikasi Industri, tidak sekedar menunjukkan kemampuan yang relatif sama dari seseorang dalam suatu kelompok (National Centre for Vocational Education Research/NCVER, 1999: 2). Pelatihan berbasis kompetensi yang sangat menekankan kepada keluaran yang kasat mata dapat diobservasi dan relevan dengan dunia kerja dan merupakan salah satu upaya untuk menjembatani dunia pendidikan dan dunia kerja.
2)   Proses Pelatihan kerja di Industri (institusi pasangan)
Pelaksanaan proses pelatihan kerja di industri (institusi pasangan) harus memperhatikan dua hal yaitu; (a). Metode; pemilihan metode KBM praktik diarahkan ke kondisi kerja atau produksi di industri, dengan prinsip efektivitas dan efisiensi secara ketat; yang mana hanya duakondisi hasil kerja, yaitu diterima atau ditolak. Beberapa metode yang cocok untuk itu, antara lain, demonstrasi, observasi dan latihan terbimbing; (b) Proses pelatihan; pemanfaatan waktu dalam pelatihan (time on task) harus seefektif dan seefisien mungkin. Untuk itu perlu rencana yang matang tentang kegiatan guru/instruktur dan siswa dalam Kegiatan pelatihan.
Pembelajaran di Institusi Pasangan dilaksanakan sesuai kurikulum PSG di lini produksi. Unsur yang terlibat dalam praktek industri adalah siswa, guru, instruktur dan guru pembimbing praktik industri dilaksanakan sesuai dengan program (materi, jangka waktu, jadual, penilaian, pelaporan dan sertifikasi). Dalam pelaksanaan praktek kerja siswa menurut (Djauhari, 1997:20) mengatakan bahwa memberikan kepercayaan pada industri untuk berperan secara penuh dalam melaksanakan pelatihan dan sertifikasi pelatihan.
Untuk mengetahui kegiatan-kegiatan apa saja yang dilakukan oleh siswa yang sedang melaksanakan praktik kerja di Institusi Pasangan (IP), maka diberikan Jurnal Kegiatan Siswa (student diary). Jurnal tersebut dapat diisi setiap hari, setiap akhir tahap pekerjaan, atau setiap akhir pekerjaan.
e.    Fasilitas/Sarana dan Prasarana Pendidikan
Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja maka diperlukan fasilitas pendidikan yang memadai. Fasilitas dimaksud adalah sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah yang digunakan dalam proses belajar mengajar. Prasarana berarti alat tidak langsung untuk mencapai tujuan pendidikan. Sarana pendidikan terdiri dari tiga kelompok yaitu; (1) bangunan dan perabot sekolah; (2) alat pelajaran yang terdiri dari buku dan alat-alat peraga dan laboratorium; dan (3) media pendidikan yang dapat dikelompokkan menjadi audiovisual yang menggunakan alat terampil (Kasan, 2003:91).
Dalam rangka mendukung pelaksanaan PSG, maka setiap SMK minimal memilki beberapa jenis peralatan, bahan praktek, perabot, dan peralatan penunjang praktik baik untuk praktik dasar maupun praktik keahlian.
f.     Penilaian Hasil Belajar
Penilaian diartikan sebagai proses memberikan atau menentukan nilai kepada objek tertentu berdasarkan suatu kriteria tertentu (Sudjana, 2001;3). Sedangkan menurut (Marylin & Quarantalory, 1987:9) mengatakan penilaian adalah tindakan tentang penetapan derajat penguasaan atribut tertentu oleh individu atau kelompok (the act of determining the degree to which an individual or group posesses a certain atribute). Dari pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa objek yang dinilai adalah hasil belajar siswa yang pada hakekatnya adalah adanya perubahan tingkah laku menyangkut; bidang kognitif, efektif dan psikomotor.
Dalam evaluasi hasil belajar PSG dilakukan penilaian dan sertifikasi. Penilaian adalah upaya untuk menafsirkan hasil pengukuran dengan cara membandingkannya terhadap patokan tertentu yang telah disepakati. Sedangkan yang dimaksud dengan sertifikasi adalah suatu proses pengakuan keahlian dan kewenangan seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas pekerjaan tertentu, melalui suatu proses sistem pengujian keahlian yang mengacu kepada standar keahlian yang berlaku dan diakui oleh lapangan kerja (Depdikbud: 1997).
Penilaian dapat dikelompokkan menjadi dua hal: (1) Penilaian hasil belajar di sekolah mencakup komponen kemampuan normatif, adaptif dan teori kejuruan; (2) Penilaian Penguasaan Keahlian, adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui tingkat penguasaaan seseorang terhadap kemampuan-kemampuan yang dipersyaratkan untuk dinyatakan ahli dan berwenang melaksanakan tugas/pekerjaan tertentu. Penilaian keahlian terdiri dari: (a) Penilaian ujian kompetensi; dan (b) Penilaian Ujian Profesi; dan 3) Sertifikat. Sesuai dengan pengelompokan jenis penilaian di atas, maka sertifikat dibagi beberapa jenis dalam pelaksanaan PSG pada SMK yaitu: (a) Ijazah atau Surat Tanda Tamat Belajar (STTB); (b) Sertifikat kompetensi; dan (c) Sertifikat Profesi.
g.    Pembiayaan Pendidikan Sitem Ganda
Keberhasilan pelaksanaan PSG tergantung sepenuhnya pada komitmen para pelaku pendidikan, yaitu: pemerintah, masyarakat, sekolah dan dunia usaha/industri, termasuk di dalamnya pengguna lulusan. Menurut (Djauhari, 1997:19) mengatakan bahwa pembiayaan pendidikan kejuruan dibagi menjadi dua yaitu: (1) segala bentuk pembiayaan yang diakibatkan oleh pelatihan yang diselenggarakan di perusahaan ditanggung oleh perusahaan; dan (2) segala bentuk pembiayaan yang dibutuhkan untuk pendidikan di sekolah kejuruan ditanggung oleh pemerintah. Sebagai implikasinya, semua unsur tersebut turut serta bertanggung jawab menggali dan memberikan kontribusi nyata dalam hal pembiayaan PSG.
Disisi lain sekolah sebagai pelaku utama PSG, hendaknya secara terus menerus menggali dan mengembangkan sumber-sumber dana dengan mengacu pada peraturan yang berlaku. Untuk pembiayaan pelaksanaan PSG, sumber pendanaan dapat dari: dana rutin, dana bantuan orang tua, dana penunjang pendidikan, unit produksi, sharing institusi pasangan, kegiatan promosi dan sponsorship dan bantuan lain.
h.   Hubungan Kerjasama dengan Institusi Pasangan
Untuk mewujudkan visi dan misi sekolah sesuai dengan paradigma pendidikan kejuruan, perlu pemberdayaan masyarakat dan lingkungan sekolah secara optimal. Hal ini penting karena sekolah memerlukan masukan dari masyarakat dalam menyusun program yang relevan, sekaligus memerlukan dukungan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan tersebut. Tercapainya tujuan SMK antara lain ditentukan oleh sejauhmana terjadinya keterkaitan dan kecocokan (link and match) antara apa yang ada dan yang terjadi di sekolah dengan apa yang terjadi di dunia usaha/dunia kerja. (Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1990 pasal 3 ayat (2)). Sejalan dengan hal itu menurut (Bhattacharya & Mandke; 1992:126) mengatakan bahwa bagi lembaga pendidikan kejuruan tanpa memanfaatkan dunia industri sebagai tempat belajar akan sulit untuk menghasilkan lulusan yang dapat memahami dunia kerja. Berfungsinya lembaga pendidikan formal memberikan bekal-bekal pengetahuan, keterampilan dan sikap yang relevan bagi dunia kerja secara langsung membawa pengaruh terhadap lapangan kerja di masyarakat, sedikit banyak dipengaruhi oleh produk-produk atau luaran (output) sistem pendidikan persekolahan itu sendiri. (Salam, 1997:1400).
Fungsi institusi pasangan sebagai mitra penyelenggaraan pendidikan dengan pihak sekolah adalah melaksanakan kegiatan; (1) perumusan bersama tentang pola/sistem penerimaan siswa baru; (2) penyusunan kurikulum; (3) pengaturan bersama keterlaksanaan pembelajaran baik di sekolah maupun di dunia usaha/industri; (4) melaksanakan uji kompetensi dan sertifikasi; dan (5) melakukan evaluasi pelaksanaan (Depdikbud: 1997). Hal senada dikatakan oleh (Slamet, 1998:40) bahwa dalam pelaksanaan PSG perlu menyusun program bersama, dan mengadakan penilaian bersama antara sekolah dan industri. Pendapat lain mengatakan bahwa hubungan pendidikan ditandai dengan adanya kontrak diikuti dengan kewajiban yang harus dijalankan oleh perusahaan dan peserta didik (Hadi 1998:50).
Sejalan dengan uraian di atas, maka diperlukan industri/Institusi Pasangan (IP) sebagai mitra penyelenggaraan pendidikan dengan pihak sekolah dalam upaya peningkatan mutu tamatan yang berwawasan mutu, sesuai dengan tuntutan kerja.
i.      Proses pengelolaan PSG








Sumber: Depdikbud Perangkat Pendukung Pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda (PSG), Jakarta, Ditjen Dikdasmen, Dikmenjur,1997, p. 7.

Gambar 1.  Proses Pengelolaan PSG
B.            Hasil Penelitian Yang Relevan
Kegiatan yang dilakukan adalah studi referensi awal yang bertujuan untuk mendapatkan temuan-temuan relevan dari hasil-hasil penelitian sebelumnya. Terdapat beberapa hasil penelitian yang memiliki relevansi dengan penelitian ini yaitu:
1.    Mamiek Slamet (2004). Hasil studi kasus pelaksanaan pendidikan sistem ganda (PSG) di tiga sekolah model terstandar (STM Negeri 4 Medan, STM Pembangunan Surabaya, dan STM Negeri Krawang) dengan analisis kualitatif. (Mamiek Slamet, 2004:16). Dengan keterkaitan yang erat dan kesepadanan yang serasi akan menghasilkan mutu lulusan Sekolah Menengah Kejuruan yang memiliki kemampuan Professional Tingkat Menengah sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.
2.    Drs. Made Wena, M.Pd. hasil penelitian tentang “pemanfaatan industri sebagai sumber belajar dalam pendidikan sistem ganda (Made wena, 1997:29). Sebagai sumber belajar yang dimanfaatkan, industri merupakan tempat belajar yang sangat penting dalam program PSG. Adanya kerjasama tersebut menuntut pihak sekolah bersama pihak industri harus terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program PSG. Agar usaha kerjasama tersebut terwujud tentu harus diperhatikan beberapa hal, yang berkaitan dengan; (1) kemampuan pihak sekolah dalam melakukan pengembangan kurikulumnya; (2) berlangsungnya kegiatan proses belajar mengajar pada dua tempat yaitu di sekolah dan di industri secara berkesinambungan; dan (3) tersedianya instruktur industri yang memahami dan mampu melaksanakan kegiatan pendidikan ataupun pembelajaran. Ketiga komponen tersebut merupakan prasyarat bagi keberhasilan pelaksanaan program PSG, dalam memanfaatkan sumber belajar di sekolah dan sumber belajar di industri.
3.    Sri Hartini, Evaluasi Program Madrasah Aliah Keagamaan (studi kasus di Madrsah Aliyah Negeri 1 Surakarta) Riset Sri Hartini (2002) dengan model Stake dengan hasil penelitian menunjukkan pada input (5 aspek) yang dievaluasi secara rasional kelimanya dapat terpenuhi dengan standar yang telah ditetapkan, demikian juga proses (5 aspek) dan output (2 aspek) disimpulkan terpenuhi.
4.    Gary Bentrup, Evaluation of a Collaborative Model, a Case Study Analysis of Watershed Planning in the Intermountain West (Gary Bentrup, 2001:739) Suatu studi kasus analisis perencanaan sumber mata air (watershed) di cela gunung bagian barat. Proses perencanaan kolaborasi (Antecedents, Problem Setting, Direction Setting, Implementation dan Monitoring and Evaluation) menjadi sangat popular untuk masalah lingkungan, menghasilkan sejumlah model-model konseptual untuk kolaborasi suatu model yang diajukan oleh Selin dan Chavez menyarankan bahwa kolaborasi yang ditimbulkan dari satu seri antencedents dan kemudian berlanjut secara sekuensial melalui masalah yang telah diatur, arah yang telah diatur, implementasi dan fasefase monitoring dan evaluasi. Suatu studi emperik terhadap evaluasi mencakup faktor-faktor penting untuk membangun administrasi kolaborasi dalam perencanaan sumber mata air.
C.           Kerangka Pikir
Pada kajian teoretis telah diuraikan tentang program pendidikan sistem ganda sebagai pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada dua tempat yaitu sekolah dan industri atau institusi pasangan yang perlu dievaluasi sejauhmana efektivitasnya.
Secara operasional, efektivitas dipahami sebagai suatu kondisi yang menampilkan tingkatan keberhasilan suatu program sesuai standar yang telah  ditetapkan (Koontz and Weilrich 1988:8). Efektivitas terjadi pada tiap tingkatan atau level organisasi yaitu tergantung pada sisi mana yang dibutuhkan. Dalam penelitian ini efektivitas dipandang dari level kelompok yaitu kelas tiga yang melaksanakan program pendidikan sistem ganda pada Program Keahlian Usaha Jasa Pariwisata di SMK Negeri 4 Makassar.
Untuk mengetahui tingkat efektivitas dilakukan dengan mengukur komponen masukan, proses dan hasil, kemudian dibandingkan dengan standar-standar objektif yang telah ditetapkan baik secara kualitas maupun kuantitas (Issac and Michael, 1982:158). Efektifitas dikategorikan pada tingkatan rendah, moderat dan tinggi (Issac and Michael,1982:22).
Berdasarkan permasalahan penelitian dan landasan teori serta diskripsi program, dibangun suatu kerangka acuan yang melibatkan tiga komponen evaluasi model Stake. Ketiga komponen evaluasi tersebut akan diuraikan, sebagai berikut:
1.    Komponen Masukan (antecedents) Program PSG
Evaluasi masukan berisi tentang analisis persoalan yang berhubungan dengan kondisi apa yang ada sebelum program diimplementasikan dan faktor apa yang diperkirakan akan mempengaruhi (Kaufman and Tomas,1980:123). Mengidentifikasi dan menilai kapabilitas sistem, alternatif, strategi, program, desain prosedur untuk strategi implementasi, pembiayaan dan penjadualan (Stufflebeam & Shinkfield, 1986:73). Evaluasi program masukan berorientasi pada suatu program yang dapat dicapai dan apa yang diinginkan, sub-sub komponen yang menjadi fokus dalam mengevaluasi masukan program pendidikan sistem ganda, terdiri dari: (a) sistem penerimaan/rekruitmen siswa; (b) persyaratan Administrasi guru yang mengajar; (c) kurikulum; (d) kalender pendidikan; (e) sarana dan prasaran; (f) pembiayaan. Untuk lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut:
a.    Siswa
Sistem penerimaan pada PSG mengandung pengertian adanya mekanisme penerimaan siswa baru yang terstruktur dan terarah yang merupakan salah satu dari program pendidikan sistem ganda, yang diselenggarakan secara bersama-sama antara SMK dan Institusi Pasangan dibawah kordinasi Dinas Pendidikan.
Penerimaan siswa baru melalui seleksi ini diharapkan akan mendapat siswa yang unggul dengan prosedur seleksi yang tepat, perangkat dan teknik seleksi yang digunakan dan kriteria dan persyaratan calon siswa. Hasil seleksi menunjukkan rata-rata siswa yang diterima adalah mendapat nilai yang baik yaitu skor akademis diperoleh dengan rata-rata nilai hasil ujian nasional atau nilai SKHU 6,0 dan seleksi tes kemampuan atau tes penerimaan siswa baru dengan rata-rata 5,0.
b.   Guru dan instruktur
Guru dalam pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda, dituntut untuk berperan dan berfungsi, antara lain; sebagai: Tenaga Pengajar atau pendidik sesuai spesialisasinya, dan dituntut untuk menjadi perencana program pendidikan dan pelatihan serta penghubung atau mediator komunikasi antara SMK dengan dunia kerja. Disamping itu sebagai pembangun Inovasi dan motivasi bagi siswa didiknya, Supervisor dan Administrator pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda di lapangan serta menjadi evaluator ketercapaian tujuan PSG.
Tugas instruktur industri hampir sama dengan tugas guru di sekolah. Dengan demikian, keberhasilan praktik peserta didik di industri sangat tergantung kemampuan instruktur dalam melaksanakan tugasnya (Made Wena, 1997:39). Untuk itu instruktur diharapkan dapat membuat perencanaan segala aspek yang dibutuhkan untuk keperluan belajar peserta didik, mengevaluasi kemajuan belajar, dan memberikan bantuan pada siswa yang membutuhkan baik yang bersifat teknis maupun nonteknis.
Untuk pengembangan fokus evaluasi adalah guru memiliki latar belakang pendidikan minimal S1 atau D4 dan berpengalaman mengajar minimal 2 tahun serta telah mengalami pengalaman diklat atau on the job training. Sedangkan instruktur minimal D3, berpengalaman di bidangnya, mempunyai pengalaman membimbing minimal 1 tahun, menguasai materi latihan kerja dan strategi pembimbingan.
c.    Kurikulum
Karakteristik khusus kurikulum Pendidikan Sistem Ganda adalah: (1) dikembangkan, dilaksanakan dan evaluasi bersama antara sekolah dan dunia kerja; (2) materi kurikulum diorganisasikan berdasarkan kelompok kompetensi; dan 3) bersifat dinamis dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan.
Tugas utama SMK adalah membekali siswa dengan kemampuan normatif, adaptif dan teori kejuruan sebagai landasan untuk mengembangkan kemampuan profesional di Institusi Pasangan. Sedangkan dunia kerja yang menjadi institusi pasangan bertugas memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperoleh pengalaman mengembangkan kemampuannya secara integratif dalam bentuk kinerja profesional, antara lain: (1) pemanfaatan waktu yang sangat ketat; (2) mengerjakan pekerjaan nyata yang berorientasi pasar; (3) menyadari bahwa kegagalan dan keterlambatan berarti kerugian; dan (4) berprilaku sebagai manusia industri (Depdikbud: 1997).
Dalam hal ini analisis masukan evaluasi adalah bagaimana standar kompetensi tamatan berdasarkan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI), dan sejauhmana efektivitas keterlibatan pihak institusi pasangan dalam mengembangkan kurikulum implementatif tersebut.


d.   Kalender Pendidikan
Analisis masukan di dalamnya adalah penetapan penjadwalan program. Dalam hal ini adalah kalender pendidikan program pelaksanaan pendidikan sistem ganda yang dijadikan pedoman untuk dikaji efektifitasnya.
e.    Sarana dan Prasarana
Keberadaan fasilitas dan bahan praktek perlu dilihat kelayakannya sehingga memiliki daya dukung pada pelaksanaan program Pendidikan Sistem Ganda secara memadai. Indikator yang dapat dijabarkan mencakup: 1) Prasarana: ruang belajar, ruang praktik, aula, lapangan olah raga, kantin, toilet; 2) sarana pendukung belajar meliputi: sumber belajar (buku dan modul), media belajar (radio/tape, TV, OHP, LCD, komputer) dan Teknologi informasi; dan 3) bahan praktek anta lain; format tiket, format laporan, ATK dan sebagainya.
f.     Pembiayaan
Biaya yang dibutuhkan adalah untuk mendukung program Pendidikan Sistem Ganda guna kelancaran pelaksanaannya. Untuk keberhasilan program, sekolah berusaha menjalin kerja sama dengan berbagai pihak. Sumber pembiayaan dimaksud adalah dana rutin, dana penunjang pendidikan, dana bantuan orang tua, unit produksi, sharing Institusi Pasangan dan bantuan lainnya. Penelitian masukan (antecedents) ini, diukur dengan menggunakan instrumen obeservasi dan wawancara.
2.    Komponen Proses (transactions) Program PSG
Evaluasi proses adalah evaluasi yang dirancang dan diaplikasikan dalam proses praktek atau membimbing dalam implementasi kegiataan. Termasuk mengidentifikasi kerusakan prosedur implementasi baik tata laksana kejadian dan aktivitas (Daniel L. Stufflebeam: 1986. Untuk mengungkap bagaimana implementasi program Pendidikan Sistem Ganda (PSG), maka disusun beberapa aspek yang menjadi fokus penelitian sebagai berikut:
a.    Kegiatan Pembelajaran di sekolah terdiri dari:
1)   Melihat penguasaan guru produktif dalam penyiapan administrasi/bahan pembelajaran, indikatornya mencakup pembuatan program pembelajaran (silabus/RP) berdasarkan kompetensi, penyusunan modul pembelajaran berdasarkan kompetensi, penyusunan penilaian/uji kompetensi. Untuk mengukur penguasaan guru dalam penyusunan administrasi/bahan pembelajaran dilakukan dengan menggunakan instrumen observasi, wawancara dan dokumentasi;
2)   Melihat penguasaaan guru produktif dalam kegiatan pembelajaran, indikatornya mencakup: penguasaan materi, pendekatan pembelajaran berbasis kompetensi (competency based training) dengan sistem blok, keterampilan penggunaan media/metode yang bervariasi, penggunaan modul pembelajaran berdasarkan kompetensi, penggunaan bahan/peralatan praktek terutama komputer/software, pemberian uji kompetensi setiap akhir pembelajaran dari setiap unit kompetensi, dan pemberian materi remidial tes bagi siswa yang belum kompeten. Untuk mengukur penguasaan guru dalam kegiatan pembelajaran dilakukan dengan menggunakan instrumen observasi, dan wawancara;
3)   Interaksi guru dengan siswa atau peserta didik, indikatornya yaitu: memberikan perhatian kepada setiap siswa, memberikan umpan balik; intensitas umpan balik; diukur dengan menggunakan instrumen obeservasi dan wawancara.
4)   Pengelolaan praktek kerja siswa, indikatornya yaitu: Administrasi naskah kerjasama dengan industri, penempatan praktek kerja siswa dan seminar hasil praktek kerja siswa. Untuk mengukur pengelolaan praktek kerja siswa dilakukan dengan menggunakan dokumen dan wawancara.
b.   Kegiatan pelatihan siswa di industri (institusi pasangan)
1)   Kegiatan pembelajaran di industri atau dapat juga dikatakan kegiatan pelatihan keahlian produktif di industri yang akan menjadi fokus penelitian yaitu; a. Identitas industri, untuk melihat identitas industri dengan indikator; tempat praktek kerja siswa dan pengalaman industri (institusi pasangan), menerima siswa praktek kerja minimal satu tahun. Untuk mengukur identitas industri dilakukan dengan menggunakan instrumen observasi dan wawancara.
2)   Kompetensi Instruktur, melihat kompetensi instruktur dalam praktek kerja siswa, indikatornya yaitu: latar belakang pendidikan minimal D3 atau setara, pengalaman kerja minimal satu tahun, pengalaman pembimbingan minimal satu tahun, penguasaan materi dengan praktek kerja siswa, strategi/metode pembimbingan yang bervariasi. Untuk mengukur kompetensi instruktur dilakukan dengan menggunakan instrumen observasi dan wawancara;
3)   Proses pelatihan kerja siswa di industri (institusi pasangan) dalam pendidikan sistem ganda indikatornya yaitu: pekerjaan yang dilatihkan diindustri dengan program keahlian siswa, waktu pelaksanaan praktik kerja di industri minimal empat bulan, penggunaan peralatan/bahan praktik kerja dengan keahlian siswa, pengisian jurnal oleh siswa dengan lengkap dari pekerjaan yang dilatihkan e”90%, penilaian hasil praktek kerja industri dengan prosedur penilaian yang tepat, pemberian surat keterangan praktek kerja dari industri e”90% dari jumlah siswa, dan monitoring oleh guru minimal 1 kali sebulan. Kegiatan pelatihan siswa di industri diukur dengan menggunakan instrumen obeservasi, dokumen dan wawancara.
3.    Komponen Hasil (outcomes) PSG
Evaluasi hasil adalah evaluasi yang dilakukan dalam mengukur keberhasilan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan (Stufflebeam: 1986) Aktivitas evaluasi hasil adalah upaya mengukur dan menafsirkan atas hasil yang telah dicapai dari suatu program. Komponen evaluasi hasil dalam penelitian ini membatasi pada bagian-bagian yang dapat dijangkau khususnya pada a) prestasi akademik yang secara nyata dapat diamati pada hasil skor Ujian Nasional (UN) yang terdiri dari tiga mata pelajaran yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika; b) ujian Nasional Komponen Produktif dengan pendekatan project work untuk mata pelajaran produktif dan sertifikasi, dan c) keterserapan tamatan di dunia kerja. Penelitian hasil ini diukur dengan menggunakan dokumen dan wawancara.
D.           Pertanyaan Evaluasi
Berdasarkan kajian teori dan kerangka pikir, beberapa pertanyaan evaluasi yang kami ajukan adalah:
1.        Bagaimana sistem penerimaan/perekrutan siswa di SMKN 5 Makassar?
2.        Bagaimana persyaratan administrasi guru yang mengajar?
3.        Bagaimana pengembangan kurikulum sistem PSG d SMK 5 Makassar?
4.        Bagaimana penetapan penjadwalan PSG berdasarkan kelender pendidikan di SMKN 5 Makassar?
5.        Bagaimana sarana dan prasarana yang mendukung PSG di SMKN 5 Makassar?
6.        Bagaimana sistem pembiayaan dalam mendukung PSG di SMKN 5 Makassar?
7.        Bagaimana penguasaan guru menyiapkan PSG di SMKN 5 Makassar?
8.        Bagaimana kesiapan guru dalam menyiapkan pembelajaran tentang PSG di SMKN 5 Makassar?
9.        Bagaimana guru memberikan instruksi kepada peserta didik?
10.    Bagaimana guru/tenaga pendidik menyiapkan pengelolaan PSG di SMKN 5 Makassar?
11.    Bagaimana mengidentifikasi industri sebagai institusi pasangan?
12.    Bagaimana kompetensi instruktur di institusi pasangan?
13.    Bagaimana proses pembelajaran di institusi pasangan?
14.    Bagaimana prestasi akademik peserta didik pasca mengikuti PSG?
15.    Bagaimana keterserapan tamatan di dunia kerja?
III.         Metodologi Penelitian
A.  Metode Evaluasi
Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian evaluasi dengan menggunakan metode studi kasus (case studies). Studi kasus bertujuan untuk; (1) menghasilkan deskripsi detail dari suatu penomena; (2) mengembangkan penjelasan-penjelasan yang dapat diberikan dari studi kasus itu; dan (3) mengevaluasi fenomena-fenomena (D. Gall & P. Gall, 2003:439). Studi kasus sering digunakan untuk menyelidiki unit sosial yang kecil seperti keluarga, klub sekolah dan kelompok remaja atau “gang” (Jacobs, Razavieh, 1999:416-417). Sedangkan Robert Stake mengemukakan, bahwa sebagai suatu bentuk penelitian, studi kasus diartikan dengan perhatian dalam kasus perorangan bukan dengan metode dari inquari yang digunakan (D. Gall & P. Gall, 2003:435). Beberapa referensi menunjukkan bahwa studi kasus merupakan bagian dari penelitian kualitatif.
Metode kualitatif dimaksudkan agar dapat diperoleh pemahaman dan penafsiran yang relatif mendalam tentang makna dari fenomena yang ada di lapangan. Menurut Bogdan dan Taylor yang dikutip oleh (Moleong, 2000:3), menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa katakata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
B.  Tempat dan Waktu Evaluasi
Penelitian ini dilaksanakan di SMK Negeri 5 Makassar. Alasan penentuan sekolah ini adalah karena sekolah tersebut telah melaksanakan program PSG dan hanya satu-satunya sekolah Bidang Bisnis dan Manajemen Program Keahlian Listrik Industri di Sulawesi Selatan.
Waktu penelitian dimulai dari bulan Januari 2012 sampai dengan Februari 2012. Sedangkan penyusunan laporan dilakukan sejak awal penelitian.
C.  Desain Evaluasi
Model riset evaluasi yang digunakan yaitu Stake’s Countenance Model yang dikembangkan oleh Robert E. Steke. Evaluasi model ini terdiri dari tiga tahapan/pase yaitu; masukan (antecedents), proses (transactions), dan hasil (outcomes).
Setiap tahapan dibagi menjadi dua tahapan yaitu deskripsi (description) dan keputusan/penilaian (judgment), Model Stake ini berorientasi pada pengambilan keputusan (decision oriented) dan teknik pengambilan keputusan aktualitas pada setiap tahap evaluasi atau aspek dengan cara melakukan pengukuran pada setiap fokus evaluasi yang dirangkum dalam matrik yang diadaptasikan dalam caseorder effect matrix (Sabarguna, 2005:27). Berdasarkan teori ini dikembangkan desain penelitian sebagai berikut:







Gambar 2. Desain Evaluasi
D.  Teknik Pengambilan Sampel/informan
Untuk keperluan penelitian ini, pemilihan informan dilakukan secara purposif, yaitu berdasarkan maksud dan tujuan penelitian. Kriteria pemilihan informan antara lain: (1) Kepala sekolah dan Wakil Kepala Sekolah sebagai supervisor yang mempunyai tugas membina para guru, staf dan siswa; (2) Guru yang mengerti tentang PSG; (3) Instruktur di industri yang mempunyai tugas memberikan pelatihan kepada siswa; (4) Siswa kelas IV yang melaksanakan PSG di industri.
Berdasarkan kriteria yang ditetapkan, maka informan kunci dalam penelitian ini, yaitu 1 orang Kepala Sekolah, 1 orang Ketua pengembang Kurikulum dan Sertifikasi, 3 orang guru, 14 siswa, dan 7 orang instruktur di industri. Sedangkan informan biasa atau pendukung dalam penelitian ini terdiri dari: 1 orang Wakil Kepala Sekolah Kurikulum dan Hubungan Industri, 1 orang Wakil Kepala Sekolah Ketenagaan, dan Kesiswaan, 1 orang pengembang SDM, 1 orang ketua panitia penerimaan siswa baru, 1 orang ketua program keahlian Listrik Industri.
E.  Standar Evaluasi
Berdasarkan rumusan Joint Committee dalam rumusan penetapan standar evaluasi dibagi dalam empat kategori. Standar evaluasi dimaksud. Berkaitan dengan penelitian ini, adalah: Pertama, kemanfaatan (utility) yang merujuk kepada klien dan audiens yang akan memanfaatkan hasil evalusi program ini secara jelas sebagaimana yang tertuang pada bagian pendahuluan; Kedua, kelayakan (feasibility) yang mengacu pada standar prosedur praktis evaluasi dan independensi yang tidak berdampak negatif pada pelaksanaan proses pendidikan di SMKN 5 Makassar seperti terganggunya kegiatan belajar mengajar dan sebagainya; Ketiga, kesesuaian (propriaty) merujuk bahwa evaluasi dilakukan secara sah, beretika, jujur, lengkap, dan mendukung kepentingan semua pihak yang telibat dalam evaluasi; dan keempat, Ketelitian/ketepatan (accuracy) merujuk kepada keahlian dan keandalan instrumen, analisis data, penggunaan software analisis kualitatif CDC EZ-Text dan informasi serta penetapan keputusan pada setiap tahapan evaluasi.
Kriteria-kriteria standar tersebut merupakan ukuran atau patokan standar objektif. Selanjutnya hasil evaluasi atau intensitas objektif dari lapangan dibandingkan dengan standar objektif yang telah ditetapkan. Teknik pengambilan keputusan aktualitas pada setiap tahapan evaluasi atau aspek dilakukan dengan cara melakukan pengukuran pada setiap fokus evalusi yang dirangkum dalam matrik yang diadaptasikan dalam case-order effect matrix (Sabarguna, 2005:27). Model matrik khusus case-order ini memiliki karakteristik yang khas yaitu menampilkan adanya efek-efek perbandingan antara standar objektif berupa kriteria-kriteria standar normatif yang telah ditetapkan sebelumnya dibandingkan dengan intensitas objektif yaitu berupa hasil rekaman nyata di lapangan.
Perbandingan tersebut akan menghasilkan efek kesimpulan yaitu berupa aktualitas keputusan pada setiap kasus yang diambil. Sejalan dengan hal tersebut Stake menyatakan bahwa dalam setiap tahap evaluasi ada data deskriptif yang mencocokkan antara intents dengan observasi sedangkan penilaian (judgment) membandingkan secara absolut antara data deskriptif dari setiap tahap dengan standar (Stake, 2006:6).
Aktualitas keputusan per kasus yang dievaluasi ditetapkan dengan menggunakan tiga pilihan yaitu tinggi (high), moderat (moderate), dan rendah (low) (Issac and Michael, 1983:22). Kemudian, pada setiap tahapan evaluasi akan menghasilkan sejumlah rekomendasi akhir yang diajukan untuk perbaikan program pendidikan sistem ganda.
F.            Instrument Penelitian
Dalam setiap penelitian, instrumen merupakan sesuatu yang mempunyai kedudukan sangat penting, karena instrumen akan menentukan kualitas data yang dikumpulkan. Semakin tinggi kualitas instrumen, semakin tinggi pula hasil evaluasinya (Arikunto dan Jabar, 2008:92). Dengan demikian kualitas suatu penelitian/evaluasi ditentukan oleh paling tidak empat kriteria berikut ini:
1.    Sahih (valid), yaitu mengukur apa yang semestinya diukur (measure what it should measure).
2.    Keterandalan (reliable), yaitu instrumen tersebut bisa digunakan kapanpun dengan hasil yang kurang lebih sama.
3.    Practicable, yaitu instrumen tersebut mudah digunakan, mudah dimengerti, praktis, dan tidak rumit.
4.    Ekonomis, yaitu instrumen tersebut tidak banyak membuang uang, waktu, dan tenaga dalam penyusunannya.
Seperti disebutkan sebelumnya bahwa terdapat tiga jenis metode/teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian evaluasi ini, diantaranya adalah analisis dokumen, angket (kuesioner), dan wawancara. Untuk memberikan arah/pedoman terhadap hal-hal yang dievaluasi, peneliti terlebih dahulu menentukan komponen yang dievaluasi. Tabel di bawah ini memberikan gambaran yang lebih jelas dan rinci tentang kaitan antara aspek dan komponen yang dievaluasi, indikator yang dikembangkan berdasarkan komponen tersebut, sumber diperolehnya data, metode/teknik pengumpulan data, serta instrumen yang dipakai. Selanjutnya berdasarkan komponen/indikator yang dievaluasi itulah, instrumen-instrumen penelitian di atas dirancang dan digunakan.
G.           Teknik Pengumpulan Data
Arikunto dan Jabar (2008:89) dengan tegas mengatakan bahwa evaluasi program adalah penelitian, maka metode pengumpulan data yang digunakan dalam evaluasi program sama dengan metode pengumpulan data dalam penelitian. Dengan demikian, untuk memperoleh data yang menunjang penelitian evaluasi ini peneliti menggunakan beberapa metode/teknik pengumpulan data seperti analisis dokumen, angket (kuesioner), dan wawancara. Peneliti menggunakan angket (kuesioner) untuk mengumpulkan data primer, sedangkan analisis dokumen dan wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data pendukung dan sekaligus melakukan triangulasi data.
H.           Teknik Analisa Data
Penelitian evaluatif umumnya bertujuan untuk memberikan rekomendasi kepada pihak penyelenggara program. Rekomendasi tersebut tentu saja berlandaskan pada data atau informasi yang diperoleh dari lapangan baik yang berasal dari tempat (place), orang (person), ataupun dokumen (paper). Informasi atau data tersebut selanjutnya diberikan perlakuan atau yang lebih dikenal dengan istilah pengolahan data. Arikunto dan Jabar (2008:128) mengatakan bahwa mengolah data adalah suatu proses mengubah wujud data yang diperoleh, biasanya masih termuat di dalam instrumen atau catatan-catatan yang dibuat peneliti (evaluator), menjadi sebuah sajian data yang dapat disimpulkan dan dimaknai.
Seperti dijelaskan dalam instrumen penelitian, data atau informasi yang diperoleh dalam penelitian evaluasi ini berasal dari tiga sumber yakni: 1) dokumen yang merupakan syarat administrasi dari suatu program, 2) angket (kuesioner) yang disebarkan kepada ketiga narasumber (siswa, kepala sekolah, serta guru), dan 3) wawancara terhadap ketiga narasumber tersebut.
Selanjutnya, Arikunto dan Jabar (2008:130) menyebutkan data mentah yang diperoleh dari proses pengumpulan data sifatnya bervariasi:
1.    Data yang diperoleh dengan menggunakan dokumen berupa angka-angka atau simbol-simbol yang menunjuk peringkat kondisi objek yang ditelaah.
2.    Data yang diperoleh dengan menggunakan angket (kuesioner) maka data yang diperoleh berupa centangan atau tanda checklist (Ö) pada pilihan-pilihan, lingkaran-lingkaran pada angka atau huruf/kata yang disediakan dalam instrumen, atau kalimat-kalimat jawaban yang sifatnya kualitatif.
3.    Data yang diperoleh dengan wawancara, wujud data yang diperoleh berbentuk centangan, lingkaran, dan kalimat jawaban yang diberikan oleh responden (interviewee) dan dicatat oleh petugas pengumpul data atau peneliti/evaluator.
Data-data mentah di atas berikutnya disajikan/diolah untuk memudahkan pemaknaan/penafsiran terhadap data itu sendiri sehingga proses analisisnya menjadi lebih reliabel dan valid. Penyajian/pengolahan data mentah tersebut dilakukan melalui dua tahapan (Arikunto dan Jabar, 2008:129-130), yaitu:
1.     Tabulasi data
Tabulasi merupakan proses menyajikan data dalam bentuk tabel. Tabulasi merupakan coding sheet yang memudahkan peneliti dalam mengolah dan menganalisis data yang diperoleh, baik secara manual maupun menggunakan komputer. Tabulasi ini berisikan variabel-variabel objek yang akan diteliti dan angka-angka sebagai simbolisasi (label) dari kategori berdasarkan variabel-variabel yang diteliti. Dalam penelitian evaluasi ini, peneliti mentabulasi data yang diperoleh melalui kuesioner, dimana kuesioner yang disebarkan tersebut menekankan pada empat aspek (yakni: konteks, masukan, proses, dan hasil) yang dijadikan acuan dalam mengevaluasi program Intensive Course (IC) di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris.
Dalam keempat aspek tersebut terdapat beberapa komponen/variabel yang diteliti dan komponen/variabel dari masing-masing aspek tersebut selanjutnya dirinci lagi menjadi beberapa indikator. Untuk memudahkan pemaknaan/ penafsiran data, peneliti memberikan kategori dan kode/label dalam bentuk nominal maupun ordinal terhadap indikator-indikator tersebut.

2.    Pengolahan/Analisis Data
Kegiatan menganalisis data merupakan kegiatan lanjutan setelah data terkumpul dan ditabulasi. Dari pengolahan data, bisa didapatkan keterangan/ informasi yang bermakna atas sekumpulan angka, simbol, atau tanda-tanda yang didapatkan dari lapangan. Informasi tersebut akan menggambarkan kondisi yang ingin diketahui tentang program pendidikan yang dievaluasi. Berdasarkan informasi itulah evaluator akan memberikan rekomendasi-rekomendasi kepada para pemegang kebijakan pendidikan yang terkait maupun stakeholder (Arikunto dan Jabar, 2008:143).
I.              Pengecekan Keabsahan Data
Menurut Moleong, kriteria keabsahan data ada empat macam yaitu : (1) kepercayaan (kreadibility), (2) keteralihan (tranferability), (3) kebergantungan (dependibility), (4) kepastian (konfermability). Dalam penelitian evaluasi ini memakai 3 macam antara lain :
1.    Kepercayaan (kreadibility)
Kreadibilitas data dimaksudkan untuk membuktikan data yang berhasil dikumpulkan sesuai dengan sebenarnya. ada beberapa teknik untuk mencapai kreadibilitas ialah teknik : teknik triangulasi, sumber, pengecekan anggota, perpanjangan kehadiran peneliti dilapangan, diskusi teman sejawat, dan pengecekan kecakupan refrensi.
2.    Kebergantungan (depandibility)
Kriteria ini digunakan untuk menjaga kehati-hatian akan terjadinya kemungkinan kesalahan dalam mengumpulkan dan menginterprestasikan data sehingga data dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kesalahan sering dilakukan oleh manusia itu sendiri terutama peneliti karena keterbatasan pengalaman, waktu, pengetahuan. Cara untuk menetapkan bahwa proses penelitian dapat dipertanggungjawabkan melalui audit dipendability oleh ouditor independent oleh dosen pembimbing.
3.    Kepastian (konfermability)
Kriteria ini digunakan untuk menilai hasil penelitian yang dilakukan dengan cara mengecek data dan informasi serta interpretasi hasil penelitian yang didukung oleh materi yang ada pada pelacakan audit.
J.             Jadwal Penelitian
KEGIATAN
BULAN (2012 -2013)
November (pekan)
Desember (pekan)
Januari (pekan)
Februari (pekan)
Maret (pekan)
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
Studi Literatur
















Peny. Proposal
















Sem. Proposal
















Observasi Data
















Pengumpulan Data
















Analisa Data
















Peny. Hasil Penlt.
















Seminar Hasil
















Ujian Tutup





































K.           Rencana Biaya Penelitian
No
Uraian
Jumlah
1
Studi Literatur
Rp.    250.000,-
2
Penyusunan Proposal
Rp.    100.000,-
3
Penggandaan Proposal
Rp.    500.000,-
4
Seminar Proposal
Rp.    500.000,-
5
Observasi Data
Rp.    500.000,-
6
Pengumpulan Data
Rp.    500.000,-
7
Analisa Data
Rp.    150.000,-
8
Transportasi Proses Penelitian
Rp.    500.000,-
9
Penyusunan Hasil Penelitian
Rp.    100.000,-
10
Penggandaan Hasil Penelitian
Rp.    500.000,-
11
Seminar Hasil Penelitian
Rp.    500.000,-
12
Persiapan Ujian Tutup
Rp. 3.000.000,-
TOTAL
Rp. 7.100.000,-

Terbilang biaya keseluruhan sebesar “Tujuh Juta Seratus Ribu Rupiah”.

Daftar Pustaka
v  Adner, MJ. The Paidea Proposal; An Educational Manifesto. New York: Collier, 1998.
v  Ahmadi, Abu H & Nur Uhbiyati. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 2001.
v  Battacharya, SK. and Mandke, V.V. Designing Interactive Teaching System for Technical Educational. The International Journal of Engineering Education, 1992.
v  Bowden, John A. Competency Based Educational-Neither a Panacea nor a Pariah, 2012. (http://crm,hct,ac,ae,2012)
v  Brinkerhoff, Robert O. et al. Program EValuation: A Practitioner’s Guide for Trainers and Educationer, fourth edition. Boston: Keluwer Nijboff, Publishing, 1986.
v  Carnevale, Ap. & Porro. Quality Education; Washington D.C: School Reform for The New American Economy, 1994.
v  Denzin, Norman K. Yvonna S. Lincoln. Handbook of Qualitative Research, 2nd edition. London: Sage Publication, Inc, International Educational and Professional Publisher, 2000.
v  Depdikbud, Keterampilan Menjelang 2020 Untuk Era Global. Jakarta: Dit.. Dikmenjur, 1997.
v  Depdikbud, Keputusan Menteri RI Nomor 323/U/1987, tentang PSG. 1987.
v  Depdikbud, Konsep Sistem Ganda Pada SMK di Indonesia. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Dit. Dikmenjur, 1994.
v  Depdikbud, Keputusan Menteri RI Nomor 490/U/1992, tentang SMK, 1992.
v  Depdikbud, Perangkat Pendukung pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda. Jakarta: Dit. Dikmenjur, 1997.
v  Depdiknas, Peraturan Menteri RI Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar ISI.
v  Depdiknas, Peraturan Menteri RI Nomor 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.
v  Depdiknas, Peraturan Menteri RI Nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan.
v  Depdiknas, Peraturan Menteri RI Nomor 24 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
v  Depdiknas, Pokok-Pokok Pikiran Pengembangan Pendidikan Kejuruan Menjelang 2020.Jakarta: Dit. Dikmenjur, 2002.
v  Dewey, John, Pengalaman dan Pendidikan. Terjemahan John de Santo. Yogyakarta: Kepel Pres, 2002.
v  Djaali, Puji Mulyono dan Ramly. Pengukuran Dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: PPs UNJ, 2000.
v  Djauharis, R. Perbaikan Sistem Pendidikan Sekolah Kejuruan dalam melaksanakan PSG. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Th. III No. 010, September 1997.
v  Djojonegoro, Wardiman. Pengembangan Sumber Daya Manusia: Melalui Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Jakarta: PT Balai Pustaka, 1999.
v  Joyce P. Gall. Educational Research An Introduction. Seventh Edition, New York: Pearsen Education, Inc., 2003.
v  Hadi, Winanto Dwi. “Menengok Pendidikan Kejuruan di Republik Federasi German (FRG)”, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Th. IV No. 13, Juni 1998.
v  Hamalik, Oemar. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT Bumi Karsa, 2004.
v  Hartini, Sri. EValuasi Program Madrasah Aliyah Keagamaan di Madrasah Alyah Negeri 1, Yogyakarta: Tesis, PPs Universitas Negeri Yogyakarta, 2002.
v  Industri Usaha Jasa Pariwisata, Standar Kompetensi Nasional Republik Indonesia. Jakarta: 2002.
v  Issac, Stephen and William B Michael. Handbook in Research and Evaluation. 2nd edition, San Diego: California, Edits Publisher, 1982.
v  Kaufman, Roger. and Susan Thomas, Evaluation Without Fear, London: 1980.
v  Koontz, Harold & Heinz Weilrich. Management. Ninth Edition. Singapore: Irwin Mc Grow Hill International Edition, 1988.
v  Marsudi, Lauddin. dkk, analisis “Kebutuhan Pelatihan Tenaga Kerja Untuk Pasar Kerja di Sulawesi Selatan”, Balitbang Provinsi Sulsel, 2008. (http://www.litbangda-sulsel.go.id/modules.php?nama=Medialitbang&file=isidetail&id=…, ).
v  Marylin, Kourilsk & Quarantalory. Effective Teaching Principles and Practice. London: Scott, 1987.
v  Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdaharya, 2000.
v  ..........................., Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdaharya, edisi revisi, 2005.
v  Nasir, Bakri. Gagasan Pokok Pendidikan Sistem Ganda di Lima Sekolah Menengah Kejuruan, (PSG-5 SMK). Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Th. IV, No. 013, Juni 1998.
v  National, Centre for Vocational Education Research (NCVER), Competency Based Training in Australia, Research at a Glance, Adelaide: Gillinghan Printers, 1999.
v  Peraturan, Pemerintah RI Nomor 19 tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, Bandung: Fokusmedia, 2005.
v  Peraturan, Pemerintah RI, Nomor 29 Tahun 1990 Tentang Pendidikan Menengah.
v  Renstra, SMKN 5 Makassar, Menuju Pengembangan Sekolah Unggul, 2003-2007.
v  Sabarguna , S Boy. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press,2005.
v  Salam, Burhanuddin H. Pengantar Pedagogik: Dasar-Dasar Ilmu Mendidik. Jakarta: PT Rinneka Cipta, 1997.
v  Samsudi, “Daya Serap Lulusan SMK Masih Rendah”, Disampaikan pada Pidato Dies Natalis ke-43 Unnes, Republika,Online, 2008. (http://202.155.208./cetak_ beritaasp?id=328575&kat_ id=23&=Online,)
v  Sanders, James R. et al, The Program Evaluation Standards. 2nd edition, California: Sage Publication Inc., 1994.
v  Shoate, Joyce S. Curriculum Based Assessment and Programming. Allyn and Bacon, 1992.
v  Siskandar. “Kurikulum Berbasis Kompetensi Pendidikan Dasar Dan Menengah,” Makalah: Jakarta, 2003.
v  Slamet, Mamiek. “Hasil Studi Kasus Pelaksanaan Sistem Ganda”, Jurnal Pendidikan Nasional, edisi khusus, 2004.
v  ................., Hasil Studi Kasus Pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda (PSG) Di Tiga Sekolah Model Standar: STM Negeri 4 Medan, STM Pembangunan Surabaya, dan STM Karawang Dengan Analisis Kualitatif, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Th IV, No. 013, Juni 1998.
v  Soedijarto, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita. Jakarta: PT Media Indonesia, 2008.
v  Soenaryo, et al. Sejarah Pendidikan Teknik dan Kejuruan di Indonesia, Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan (Dit. Dikmenjur): Jakarta: 2002.
v  Stake, Robert E. The Countenance of Educational Evaluation, Center for Instructional Research and Curriculum Evaluation, Paper University of Illinois, 2006.
v  Standar Kompetensi Nasional Rebuplik Indonesia (SKNI). Usaha Jasa Pariwisata, versi C Bahasa Indonesia, Jakarta: 2002.
v  Stufflebeam, Daniel L & Antohony J. Shinkfield. Systematic Evaluation, A Self-Instructional Guide to Theory and practice. Boston:  Kluwer-Nijhoff Publishing, 1986.
v  Sudjana, Nana. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001.
v  Suryadi, Ace. “Link and Match Kebutuhan Mendasar Pengembangan SDM”, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Th, IV No.013, Juni 1998.
v  Sutikno, M.Sobry, Menuju Pendidikan Bermutu. Mataram: NTP Press, 2004.
v  Tayibnapis, Farida Yusuf. Evaluasi Program. Jakarta: PT Rineka, 2000.
v  The educational System in Germany, The The educational System in Germany, The Dual System: Part-time  Vocational Education, The Development and Implementation of Education Standards in Germany, Archived information 1999, 2012. (http://www.ed.Gove/ pubs/German Case study/ chapter 2nd,html).
v  Undang-Undang RI No.14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, Bandung: Citra Umbara, 2006.
v  Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bandung: Fokusmedia, 2003.
v  Wena, Made. Pemanfaatan Industri Sebagai Sumber Belajar dalam Pendidikan Sistem Ganda”, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Th. III, No. 010 September, 1997.
v  Wibowo, Jatmiko Alexander. Pendidikan Berbasis Kompetensi: Belajar dari Dunia Kerja, Yogyakarta: Universitas Atma-Jaya, 2002.
v  Yacobs D. Ary & Razaveck. A Introduction to Research in Education. Four edition, New York: Halt Ricehart and Winston, 1999.
v  Yudhoyono, Bambang Susilo. Presiden Rupublik Indonesia, Pengarahan pada acara pembukaan “Kongres Nasional Pembangunan Manusia Indonesia”, Jakarta, Kompas, 2006.

6 komentar: