Selasa, 03 Januari 2012

LANDASAN FILOSIF PENDIDIKAN

A.           LANDASAN FILOSIF PENDIDIKAN
Ada dua istilah yang terlebih dahulu perlu kita kaji dalam rangka memahami pengertian landasan pendidikan, yaitu istilah landasan dan istilah pendidikan. Secara terminology, istilah landasan diartikan sebagai alas, dasar, atau tumpuan. Adapun istilah landasan sebagai dasar dikenal pula sebagai fundasi. Mengacu kepada pengertian tersebut, kita dapat memahami bahwa landasan adalah suatu alas atau dasar pijakan dari sesuatu hal; suatu titik tumpu atau titik tolak dari sesuatu hal; atau suatu fundasi tempat berdirinya sesuatu hal.
Berdasarkan sifat wujudnya terdapat dua jenis landasan, yaitu: (1) landasan yang bersifat material, dan (2) landasan yang bersifat konseptual. Contoh landasan yang bersifat material antara lain berupa landasan pacu pesawat terbang dan fundasi bangunan gedung. Adapun contoh landasan yang bersifat konseptual antara lain berupa dasar Negara Indonesia yaitu Pancasila dan UUD RI Tahun 1945; landasan pendidikan, dan sebagainya.
Dari contoh di atas telah Kita ketahui bahwa landasan pendidikan tergolong ke dalam jenis landasan yang bersifat konseptual. Selanjutnya, mari kita kaji lebih lanjut pengertian landasan yang bersifat konseptual tersebut. Landasan yang bersifat konseptual pada dasarnya identik dengan asumsi, yaitu suatu gagasan, kepercayaan, prinsip, pendapat atau pernyataan yang sudah dianggap benar, yang dijadikan titik tolak dalam rangka berpikir (melakukan suatu studi) dan/atau dalam rangka bertindak (melakukan suatu praktek).

Menurut Troy Wilson Organ, “asumsi dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu: aksioma, postulat, dan premis tersembunyi” (Redja Mudyahardjo, 1995). Aksioma adalah asumsi yang diterima kebenarannya tanpa perlu pembuktian, atau suatu pernyataan yang kebenarannya diterima secara universal. Contoh: “dalam hidupnya manusia tumbuh dan berkembang”. Terhadap pernyataan ini tidak akan ada orang yang menyangkal kebenarannya, sebab kebenarannya dapat diterima secara universal tanpa perlu dibuktikan lagi.
· Postulat yaitu asumsi yang diterima kelompok orang tertentu atas dasar persetujuan. Contoh: “Perkembangan individu ditentukan oleh factor hereditas maupun oleh faktor pengaruh lingkungannya (pengalaman)”.
Asumsi ini disetujui/diterima benar oleh kelompok orang tertentu, tetapi tentu saja ditolak oleh kelompok orang lainnya yang menyetujui asumsi bahwa perkembangan individu sepenuhnya ditentukan oleh faktor hereditas saja, atau oleh faktor pengaruh lingkungan saja.
· Premis Tersembunyi yaitu asumsi yang tidak dinyatakan secara tersurat yang diharapkan dipahami atau diterima secara umum. Premis tersembunyi biasanya merupakan premis mayor dan premis minor dalam silogisme yang tidak dinyatakan secara tersurat, contoh: Armin perlu dididik (dinyatakan).
Dalam pernyataan ini terdapat premis tersembunyi yang tidak dinyatakan, yaitu semua manusia perlu dididik (premis mayor), dan Armin adalah manusia (premis minor). maka kesimpulanya seperti pernyataan di atas adalah Armin perlu dididik.
Filosofis, berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas suku kata philein/philos yang artinya cinta dan sophos/Sophia yang artinya kebijaksanaan, hikmah, ilmu, kebenaran. Secara maknawi filsafat dimaknai sebagai suatu pengetahuan yang mencoba untuk memahami hakikat segala sesuatu untuk mencapai kebenaran atau kebijaksanaan. Untuk mencapai dan menemukan kebenaran tersebut, masing-masing filosof memiliki karakteristik yang berbeda antara yang satu dengan lainnya. Demikian pula kajian yang dijadikan obyek telaahan akan berbeda selaras dengan cara pkitang terhadap hakikat segala sesuatu.
Sedangkan pendidikan, sebagaimana telah dikemukakan dalam pendahuluan, hakikat pendidikan tiada lain adalah humanisasi. Tujuan pendidikan adalah terwujudnya manusia ideal atau manusia yang dicita-citakan sesuai nilai-nilai dan normanorma yang dianut. Contoh manusia ideal yang menjadi tujuan pendidikan tersebut antara lain: manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,  berakhlak mulia, sehat, cerdas, terampil, dan lain sebagainya. Sebab itu, pendidikan bersifat normatif dan mesti dapat dipertanggungjawabkan. Mengingat hal di atas, pendidikan tidak boleh dilaksanakan secara sembarang, melainkan harus dilaksanakan secara bijaksana. Maksudnya, pendidikan harus dilaksanakan secara disadari dengan mengacu kepada suatu landasan yang kokoh, sehingga jelas tujuannya, tepat isi kurikulumnya, serta efisien dan efektif cara-cara pelaksanaannya.
Implikasinya, dalam pendidikan, menurut Syarifuddin (1994) mesti terdapat momen berpikir dan momen bertindak. Secara lebih luas dapat dikatakan bahwa dalam rangka pendidikan itu (Redja Mudyahardjo 1995), terdapat momen studi pendidikan dan momen praktek pendidikan. Momen studi pendidikan yaitu saat berpikir atau saat mempelajari pendidikan dengan tujuan untuk memahami/menghasilkan sistem konsep pendidikan. Momen praktek pendidikan yaitu saat dilaksanakannya berbagai tindakan/praktek pendidikan atas dasar hasil studi pendidikan, yang bertujuan membantu seseorang atau sekelompok orang (peserta didik) agar mencapai tujuan pendidikan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa landasan filosofis pendidikan adalah asumsi filosofis yang dijadikan titik tolak dalam rangka studi dan praktek pendidikan. Sebagaimana telah Kita pahami, dalam pendidikan mesti terdapat momen studi pendidikan dan momen praktek pendidikan. Melalui studi pendidikan antara lain kita akan memperoleh pemahaman tentang landasan-landasan pendidikan, yang akan dijadikan titik tolak praktek pendidikan. Dengan demikian, landasan filosofis pendidikan sebagai hasil studi pendidikan tersebut, dapat dijadikan titik tolak dalam rangka studi pendidikan yang bersifat filsafiah, yaitu pendekatan yang lebih komprehensif, spekulatif, dan normatif.
Filsafat pendidikan ialah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai keakar – akarnya mengenai pendidikan. Agar uraian tentang filsafat pendidikan ini menjadi lebih lengkap, berikut akan dipaparkan tentang beberapa aliran filsafat pendidikan yang dominan di dunia ini. Aliran itu ialah : Esensialis, Parenialis, Progresivis, Rekonstruksionis,dan Eksistensialis.
Filsafat pendidikan Esensialis bertitik tolak dari kebenaran yang telah terbukti berabad – abad lamanya. Kebenaran seperti itulah yang esensial, yang lain adalah suatu kebenaran secara kebetulan saja. Tekanan pendidikannya adalah pada pembentukan intelektual dan logika.
Filsafat pendidikan Parenialis tidak jauh berbeda dengan filsafat pendidikan Esensialis. Kalau kebenaran yang esensial pada esensialis ada pada kebudayaan klasik dengan Great Booknya, maka kebenaran Parenialis ada pada wahyu Tuhan. Tokoh filsafat ini ialah Agustinus dan Thomas Aquino.
Demikianlah Filsafat Progresivisme mempunyai jiwa perubahan, relativitas, kebebasan, dinamika, ilmiah, dan perbuatan nyata. Menurut filsafat ini, tidak ada tujuan yang pasti. Tujuan dan kebenaran itu bersifat relative. Apa yang sekarang dipandang benar karena dituju dalam kehidupan, tahun depan belum tentu masih tetap benar. Ukuran kebenaran ialah yang berguna bagi kehidupan manusia hari ini. Tokoh filsafat pendidikan Progresivis ini adalah John Dewey.
Filsafat pendidikan Rekonstruksionis merupakan variasi dari Progresivisme, yang menginginkan kondisi manusia pada umumnya harus diperbaiki Mereka bercita – cita mengkonstruksi kembali kehidupan manusia secara total.
Filsafat pendidikan Eksistensialis berpendapat bahwa kenyataan atau kebenaran adalah eksistensi atau adanya individu manusia itu sendiri. Adanya manusia di dunia ini tidak punya tujuan dan kehidupan menjadi terserap karena ada manusia. Manusia adalah bebas. Akan menjadi apa orang itu ditentukan oleh keputusan dan komitmennya sendiri. (http://syamsulberau.wordpress.com/2007/11/16/landasan-pendidikan/)
B.            Pancasila Sebagai Landasan Filosofis Pendidikan Indonesia
Filsafat pendidikan nasional Indonesia berakar pada nilai-nilai budaya yang terkandung pada Pancasila. Nilai Pancasila tersebut harus ditanamkan pada peserta didik melalui penyelenggaraan pendidikan nasional dalam semua level dan tingkat dan jenis pendidikan. Nilai-nilai tersebut bukan hanya mewarnai muatan pelajaran dalam kurikulum tetapi juga dalam corak pelaksanaan. Rancangan penanaman nilai budaya bangsa tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga bukan hanya dicapai penguasaan kognitif tetapi lebih penting pencapaian afektif. Lebih jauh lagi pencapaian nilai budaya sebagai landasan filosofis bertujuan untuk mengembangkan bakat, minat kecerdasan dalam pemberdayaan yang seoptimal mungkin.
Dua hal yang dipertimbangkan dalam menentukan landasan filosofis dalam pendidikan nasional Indonesia. Pertama, adalah landasan tentang manusia Indonesia. Filosofis pendidikan nasional manusia Indonesia sebagai:
  1. Makhluk Tuhan Yang Maha Esa dengan segala fitrahnya.
  2. Sebagai makhluk individu dengan segala hak dan kewajibannya.
  3. Sebagai makhluk sosial dengan segala tanggung jawab yang hidup di dalam masyarakat yang pluralistik baik dari segi lingkungan sosial budaya, lingkungan hidup dan segi kemajuan Negara kesatuan Republik Indonesia di tengah-tengah masyarakat global yang senantiasa berkembang dengan segala tantangannya.
Kedua landasan filosofis pendidikan nasional sebagai pranata sosial yang selalu berinteraksi dengan kelembagaan sosial lain dalam masyarakat. Karena kedua landasan filosofis tersebut menjadikan pendidikan nasional harus ditanggung oleh semua fihak sehingga pendidikan dibangun oleh semua unsur bangsa sehingga berkontribusi terhadap unsur pranata sosial lainnya.
Secara mendasar dapat ditegaskan bahwa landasan filosofis Pancasila menyimpulkan bahwa sistem pendidikan nasional menempatkan peserta didik sebagai makhuk yang khas dengan segala fitrahnya dan tugasnya menjadi agen pembangunan yang berharkat dan bermartabat. Oleh karena itu manusia Indonesia dianggap sebagai individu yang mampu menjadi manusia Indonesia yang berakhlak mulia. Karenanya pendidikan harus mampu mengembangkan menjadi manusia yang memegang norma-norma keagamaan dalam kehidupan sehari-hari sebagai makhluk Tuhan, Makhluk sosial, dan makhluk individu.
Landasan filosofis pendidikan nasional memberikan penegasan bahwa penyelenggaraan pendidikan nasional di Indonesia hendaknya mengimplementasikan ke arah:
  1. Sistem pendidikan nasional Indonesia yang bertumpu pada norma persatuan bangsa dari segi sosial, budaya, ekonomi dan memlihara keutuhan bangsa dan negara.
  2. Sistem pendidikan nasional Indonesia yang proses pendidikannya memberdayakan semua institusi pendidikan agar individu dapat menghargai perbedaan individu lain, suku, ras, agama, status sosial, ekonomi dan golongan sebagai manifestasi rasa cinta tanah air. Dalam hal ini pendidikan nasional dipkitang sebagai bagian dari upaya nation character building bagi bangsa Indonesia.
  3. Sistem pendidikan nasional Indonesia yang bertumpu pada norma kerakyatan dan demokrasi. Pendidikan hendaknya memberdayakan pendidik dan lembaga pendidikan untuk terbentuknya peserta didik menjadi warga yang memahami dan menerapkan prinsip kerakyatan dan demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Prinsip kerakyatan dan demokrasi harus tercermin dalam input-proses penyelenggaraan pendidikan Indonesia.
  4. Sistem pendidikan nasional Indonesia yang bertumpu pada norma keadilan sosial untuk seluruh warga negara Indonesia. Perencanaan dan pelaksanaan pendidikan menjamin pada penghapusan bentuk diskriminatif dan menjamin terlaksananya pendidikan untuk semua warga negara tanpa kecuali.
  5. Sistem pendidikan nasional yang menjamin terwujudnya manusia seutuhnya yang beriman dan bertaqwa, menjunjung tinggi hak asasi manusia, demokratis, cinta tanah air dan memiliki tanggungjawab sosial yang berkeadilan. Dengan demikian Pancasila menjadi dasar yang kokoh sekaligus ruh pendidikan nasional Indonesia. (http://mbegedut.blogspot.com/2010/11/menilik-landasan-pendidikan-indonesia.html)
Menurut Agus Wirawan dalam tulisannya (http://gusfumi.wordpress.com/2010/10/20/pancasila-sebagai-landasan-filosofis-sistem-pendidikan-nasional/), bahwa pasal 2 UU No. 2 Tahun 1989 menetapkan bahwa Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Rincian selanjutnya tentang hal itu tercantum dalam Penjelasan UU-RI No. 2 Tahun 1989, yang menegaskan bahwa pembangunan nasional termasuk di bidang pendidikan, adalah pengamalan Pancasila, dan untuk itu pendidikan nasional mengusahakan antara lain : Pembentukan manusia Pancasila sebagai manusia pembangunan yang tinggi kualitasnya dan mampu mandiri (Undang-Undang, 1992: 24).
C.           Peranan Landasan Filosofis Terhadap Pendidikan Di Indonesia
Peranan landasan filosofis pendidikan adalah memberikan rambu-rambu apa dan bagaimana seharusnya pendidikan dilaksanakan. Rambu-rambu tersebut bertolak pada kaidah metafisika, epistemology dan aksiologi pendidikan sebagaimana studi dalam filsafat pendidikan. Landasan filosofis pendidikan tidaklah satu melainkan ragam sebagaimana ragamnya aliran filsafat. Sebab itu, dikenal adanya landasan filosofis pendidikan Idealisme, landasan filsofis pendidikan Pragmatisme, dan sebagainya. Contoh: Penganut Realisme antara lain berpendapat bahwa “pengetahuan yang benar diperoleh manusia melalui pengalaman”. Implikasinya, penganut Realisme mengutamakan metode mengajar yang memberikan kesempatan kepada para siswa untuk memperoleh pengetahuan melalui pengalaman langsung (misal: melalui observasi, praktikum, dan sebagainya.) atau pengalaman tidak langsung (misal: melalui membaca laporan-laporan hasil penelitian, dan sebagainya).
Selain tersajikan berdasarkan aliran-alirannya, landasan filosofis pendidikan dapat pula disajikan berdasarkan tema-tema tertentu. Misalnya dalam tema: “Manusia sebagai Animal Educandum” (M.J. Langeveld, 1980), Man and Education” (Frost, Jr., 1957), dan lain-lain. Demikian pula, aliran-aliran pendidikan yang dipengaruhi oleh filsafat, telah menjadi filsafat pendidikan dan atau menjadi teori pendidikan tertentu. Ada beberapa teori pendidikan yang sampai dewasa ini mempunyai pengaruh yang kuat terhadap praktek pendidikan, misalnya aliran empirisme, naturalisme, nativisme, dan aliran konvergensi dalam pendidikan.
Adapun fungsi landasan filosofis pendidikan, seperti diibaratkan suatu gedung dapat berdiri tegak dan kuat apabila dinding-dindingnya, atapnya, dan sebagainya. didirikan dengan bertumpu pada suatu landasan (fundasi) yang kokoh. Apabila landasannya tidak kokoh, apalagi jika gedung itu didirikan dengan tidak bertumpu pada fundasi atau landasan yang semestinya, maka gedung tersebut tidak akan kuat untuk dapat berdiri tegak. Mungkin gedung itu miring dan retak-retak, sehingga akhirnya runtuh dan berantakan. Demikian pula pendidikan, pendidikan yang diselenggarakan dengan suatu landasan yang kokoh, maka prakteknya akan mantap, benar dan baik, relatif tidak akan terjadi kesalahan-kesalahan yang dapat merugikan, sehingga praktek pendidikan menjadi efisien, efektif, dan relevan dengan kebutuhan individu, masyarakat dan pembangunan.
Contoh: Dalam praktek pendidikan, para guru antara lain dituntut agar melaksanakan peranan sesuai semboyan “tut wuri handayani”. Untuk itu, para guru idealnya memahami dan meyakini asumsi-asumsi dari semboyan tersebut. Sebab jika tidak, sekalipun tampaknya guru tertentu berbuat “seperti” melaksanakan peranan sesuai semboyan tut wuri handayani, namun perbuatan itu tidak akan disadarinya sebagai perbuatan untuk tut wuri handayani bagi para siswanya. Bahkan kemungkinan perbuatan guru tersebut akan lebih sering bertentangan dengan semboyan tersebut. Misalnya: guru kurang menghargai bakat masing-masing siswa; semua siswa dipkitang sama, tidak memiliki perbedaan individual; guru lebih sering mengatur apa yang harus diperbuat siswa dalam rangka belajar, guru tidak menghargai kebebasan siswa; dan lain-lain. Guru berperan sebagai penentu perkembangan pribadi siswa, guru berperan sebagai pembentuk prestasi siswa, guru berperan sebagai pembentuk untuk menjadi siapa para siswanya di kemudian hari. Dalam contoh ini, semboyan tinggal hanya sebagai seboyan. Sekalipun guru hapal betul semboyan tersebut, tetapi jika asumsi-asumsinya tidak dipahami dan tidak diyakini, maka perbuatan dalam praktek pendidikannya tetap tidak bertitik tolak pada semboyan tadi, tidak mantap, terjadi kesalahan, sehingga tidak efisien dan tidak efektif.
Sebaliknya, jika guru memahami dan meyakini asumsi-asumsi dari semboyan tut wuri handayani (yaitu: kodrat alam dan kebebasan siswa), maka ia akan dengan sadar dan mantap melaksanakan peranannya. Dalam hal ini ia akan relatif tidak melakukan kesalahan. Misalnya: guru akan menghargai dan mempertimbangkan bakat setiap siswa dalam rangka belajar, sekalipun para siswa memiliki kesamaan, tetapi guru juga menghargai individualitas setiap siswa. Guru akan memberikan kesempatan kepada para siswa untuk mengatur diri mereka sendiri dalam rangka belajar, guru menghargai kebebasan siswa.
Guru membimbing para siswa dalam rangka belajar sesuai dengan kecepatan dan kapasitas belajarnya masing-masing, dan lain-lain. Pendek kata, dengan bertitik tolak pada asumsi kodrat alam dan kebebasan yang dimiliki setiap siswa, maka perbuatan guru dalam praktek pendidikannya bukan untuk membentuk prestasi belajar tanpa mempertimbangkan bakat atau kecepatan dan kapasitas belajar masing-masing siswa; bukan untuk membentuk siswa agar menjadi siapa mereka nantinya sesuai kehendak guru belaka; melainkan membimbing para siswa  dalam belajar sehingga mencapai prestasi optimal sesuai dengan bakat, minat, kecepatan dan kapasitas belajarnya masing-masing; memberikan kesempatan/kebebasan kepada siswa untuk mengembangkan diri sesuai dengan kodrat alamnya masing-masing melalui interaksi dengan lingkungannya, dan berdasarkan sistem nilai tertentu demi terwujudnya tertib hidupnya sendiri dan tertibnya hidup bersama. Guru hanya akan “mengatur” atau mengarahkan siswa ketika siswa melakukan kesalahan atau salah arah dalam rangka belajarnya.
Berdasarkan uraian di atas, jelas kiranya bahwa asumsi atau landasan pendidikan akan berfungsi sebagai titik tolak atau tumpuan bagi para guru dalam melaksanakan praktek pendidikan. Ada berbagai jenis landasan pendidikan yang perlu kita kaji, antara jenis landasan pendidikan yang satu dengan jenis landasan pendidikan yang lainnya akan saling melengkapi. Dalam rangka mempelajari landasan pendidikan, akan ditemukan berbagai asumsi yang mungkin dapat kita sepakati. Di samping itu, mungkin pula ditemukan berbagai asumsi yang tidak dapat kita sepakati karena bertentangan dengan keyakinan atau pendapat yang telah kita anut. Namun demikian, hal yang terakhir ini hendaknya tidak menjadi alasan sehingga kita tidak mau mempelajarinya.
Sebab semua itu justru akan memperluas dan memperjelas wawasan kependidikan kita. Hanya saja kita mesti kita memilah dan memilih mana yang harus ditolak dan mana yang seharusnya diterima serta kita anut. Ini adalah salah satu peranan pelaku studi landasan pendidikan, yaitu membangun landasan kependidikannya sendiri. Landasan filosofis pendidikan yang dianut itulah yang akan berfungsi sebagai titik tolak dalam rangka praktek pendidikan dan/atau studi pendidikan lebih lanjut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar