Senin, 26 Maret 2012

REVITALISASI GERAK PERJUANGAN MAHASISWA MELAWAN KAPITALSME NEOLIBERAL *


                                                                         Oleh : Abdul Zahir**
A. Realitas Kapitalisme Neoliberal
Akhir-akhir ini, neoliberalisme banyak diperbincangkan orang. Berbagai jenis tulisan dari berbagai sudut pandang telah diterbitkan untuk mengulasnya. Ada penulis yang membahas pengaruhnya terhadap ekonomi (perdagangan bebas dan ketimpangan ekonomi berskala dunia), politik (soal hapusnya negara-bangsa dan kedaulatan korporasi), budaya (penghancuran budaya dan bahasa setempat), lingkungan (pemanasan global) dan juga filosofis (gagasan tentang manusia individualistik dan hubungan antarmanusianya). Di lihat dari keanekaragaman cara mengupas neoliberalisme menunjukkan bahwa ia telah memasuki semua kamar dan meniduri ranjang yang berbeda. Roh neoliberalisme adalah satu, namun wujudnya banyak.
Dikaitkan dengan sistem ekonomi kapitalisme, neoliberalisme bisa kita tempatkan sebagai sebentuk ideologi atau seperangkat gagasan yang diyakini, baik secara sadar atupun tidak. Sebagai ideologi, neoliberalisme mempengaruhi cara berpikir dan cara bertindak mereka yang berada di bawah pengaruhnya. Seperti halnya semua ideologi, neoliberalisme mewujud ke dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk ‘teori’ yang menjelaskan gejala dan hubungan antargejala serta bagaimana menjawab persoalan dari gejala-gejala kehidupan manusia tersebut. Seperti juga semua ideologi, neoliberalisme tidaklah muncul begitu saja dari ruang kosong. Tunas-tunasnya tumbuh dari tanah subur kapitalisme lanjut; di atas humus kapitalisme yang menua.
                 
Seperti semua hal yang ada di kolong langit, sistem ekonomi kapitalisme selalu berubah. Tampilan kapitalisme hari ini sangat berbeda dari kapitalisme di masa Marx. Ketika Marx menulis The Communist Manifesto (1848), kapitalisme benar-benar hanya berlangsung sepenuhnya di beberapa tempat saja di Eropa bagian barat dan Inggris. Sekarang ia menjadi sistem yang ada di mana-mana. Pada dasawarsa 1840-an, satuan produksi kapitalis sekadar pabrik kecil dengan buruh yang tidak mencapai seratus dan dimiliki serta dimanajeri seorang atau sekeluarga kapitalis. Bila dulu sebagian besar kapitalis beroperasi di negerinya sendiri, kini kompeni multinasional bisa menempatkan pusat-pusat produksinya di mana pun di dunia selama bisa dilakukan dan menguntungkan.

Kapitalisme baru tidak hanya mampu menggerakkan kapitalnya ke penjuru Dunia Ketiga, tapi juga mengeksport penderitaan yang dulu dialami pekerja-pekerja di Eropa ke pundak pekerja di Asia, Afrika, atau Amerika Latin. Tetapi, terlepas dari aneka perubahan yang dialami kapitalisme, tampilan mendasar yang menjadikan corak ekonomi kapitalisme bekerja masih tetap sama. Tampilan terpentingnya antara lain ; Ketika pengawas unit produksi tidak lagi bisa memeras pekerja secara brutal di negerinya sendiri, maka kapitalis siap mengirim kapitalnya ke negeri-negeri yang pekerjanya masih bisa diperas sekering-keringnya. Globalisasi yang tiada lain adalah terbukanya pintu-pintu kapitalisasi melampaui batas-batas negara bangsa sudah dimulai sejak imperialisme modern dijalankan. Tetapi, cengkraman terkuatnya baru kemudian ketika teknologi informasi (penemuan komputer dan kemudian revolusi Internet) meningkatkan kemampuan kapital bergerak dengan luar biasa cepatnya.
                  Dalam salah satu catatannya yang termuat dalam Grundrisse, Marx melihat persaingan bebas kapitalisme dari dua sisi. Di satu sisi, persaIngan bebas muncul ketika kapital sebagai penggerak produksi komoditi menjadi dominan. Artinya, kapital yang kian dominanlah yang mendobrak kebekuan ekonomi feodal dan menciptakan gagasan serta praktik persaingan bebas. Di sisi lain, persaingan menjadi semacam inang pengasuh yang kepadanya kapital tumbuh dewasa di atas reruntuhan ragam produksi lama. Namun, pada pokoknya persaingan merupakan kondisi historis kapitalisme yang melaluinya ia menghancurkan ragam-ragam produksi sebelumnya Di dalam suatu negara, persaingan bebas pada akhirnya akan mendobrak pengaturan pemerintah yang mengekang akumulasi kapital, seperti pajak, CSR, dan sebagainya. Di pasar dunia, persaingan berujung pada pelenyapan bea cukai, proteksi, dan berbagai bentuk pelarangan yang menghambat keluar-masuknya komoditi dan kapital secepat dan sejauh yang kapitalis inginkan. Kondisi yang sudah diramalkan Marx sekarang ini kemudian oleh para penulis kontemporer disebut globalisasi ekonomi, neo-kapitalisme, atau kapitalisme neo-liberal, yaitu tahap bentuk ketika kapitalisme menjadi formasi sosial dunia yang menjadikan persaingan bebas sebebas-bebasnya sebagai satu-satunya hukum dalam gerak kapital lewat hubungan produksi dan distribusi (yang kemudian berdampak terhadap hubungan-hubungan sosial lainnya) dan menempatkan keuntungan sebagai satu-satunya ukuran dalam pertarungan menang-kalah yang brutal.
Seperti air yang selalu mencari tempat yang rendah, begitu pula kapital akan selalu mencari tempat-tempat yang menyediakan pekerja dan bahan baku murah dengan pemerintahnya yang bisa dicocok hidung untuk menyediakan segala rupa aturan hukum dan infrastruktur yang melancarkan produksi kapitalis. Terbentuknya Dunia Ketiga dan kemiskinan brutal di dalam pelapisan sosialnya yang timpang merupakan hasil langsung akumulasi dan ekspansi terus-menerus usaha kapitalis yang tidak peduli pada apapun selain laba. Terjadilah pemusatan kemakmuran secara geografis. Dalam bahasa Marxis kontemporer, dunia yang sepenuhnya sudah dirambah kapitalisme sejak abad-abad penjajahan terpilah antara pusat dan pinggiran atau metropolitan dab satelit. Dunia tidak lagi dibelah berdasarkan garis lintang dan garis bujur imajiner, tapi berdasarkan tingkat kemakmuran dan kedudukan dalam hubungan produksi global wilayah-wilayahnya.
                  Kapitalisme beranjak dari kampung halamannya di Eropa Barat sejak abad ke-17 ke mana pun laba bisa dikeruk. Di mana pun langkah kapitalisme dipijakkan, di sana pulalah kapitalisme berkembang biak menjadi ragam produksi pokok. Persis seperti Arjuna yang di mana pun ia tinggal selalu punya anak dari istri setempatnya, begitu pula ketika kapitalisme merambah Asia atau Afrika dan kawin dengan ragam produksi setempat, ia menyemaikan benih kelahiran anak jadah bernama kapitalisme-pinggiran. Kapitalisme di pinggiran berbeda dengan kapitalisme di pusat. Perkembangan di pinggiran dicirikan tidak selarasnya hubungan antarsektor karena kapitalisme di pinggiran hanya melayani perkembangan kapitalisme di pusat. Kapitalisme di pinggiran terutama menghasilkan bahan baku dan beberapa barang dagangan bukan alat-alat produksi utama. Kapitalisme pinggiran hanya menjadi kaki tangan kapitalisme pusat.                                            
   Satu sektor ekonomi mengalami perkembangan lebih baik di banding sektor lain. Sektor yang berkembang maju menjadi betul-betul kapitalistik karena ditopang kapital dari luar (tentu saja lewat penanaman modal asing dan utang luar negeri dari kompeni keuangan internasional semacam IMF, ADB, atau Bank Dunia). Sedangkan sektor terbelakang, seperti pertanian pangan dan industri kecil-kecilan, umumnya adalah sektor-sektor yang masih terperangkap sisa-sisa hubungan produksi pra-kapitalis yang di sana kapitalisme belum betul-betul merasuk. Fungsi keberadaan sektor-sektor pinggiran seperti industri pengolahan pangan kecil-kecilan, pertanian pangan, dan perdagangan kecil-kecil adalah untuk menyediakan kebutuhan reproduksi kelas pekerja murah. Akhirnya, menurut Amin, perkembangan kapitalisme di pusat formasi sosialnya menghantar pada keterbelakangan pinggirannya.
                  Nilai-nilai demokrasi liberal borjuis seperti kesetaraan individu, kebebasan berserikat, kebebasan berpendapat, dan norma hak asasi manusia bisa dijadikan senjata untuk melawan borjuis itu sendiri. Keadaan di Dunia Ketiga tidak sebaik di pusat kapitalisme, demokrasi perwakilan biasanya sekadar drama yang dipentaskan oleh elit-elit politik yang saling suap dengan elit-elit ekonomi. Atau bila perlu, tidak usah ada demokrasi sekalian. Pemerintahan otoriter merupakan bentuk pemerintahan paling diminati kapitalis mana pun yang sedang menjarah kekayaan alam dan tenaga kerja negeri Dunia Ketiga (Dinasti Saud, Pinochet, Soeharto, Idi Amin, dkk.).
Tidak seperti kaum kapitalis abad ke-19, kapitalis-kapitalis kontemporer tidak peduli pada produksi barang. Uang-uang bukannya ditanam dalam usaha produktif, tapi dibiakkan dalam pasar uang dengan tujuan memperoleh keuntungan dan kekayaan sebesar-besarnya secara saksama dan dalam tempoh yang sesingkat-singkatnya. Para kapitalis pialang meraja. Mereka duduk di depan monitor menyaksikan pergerakan angka-angka saham dan valuta. Kesetiaan mereka hanya ditujukan pada uang, uang, dan uang sambil tanpa pernah memproduksi apa pun.
Bila kapitalis lama menghasilkan kapas, gula, kain, atau gandum yang berguna untuk banyak orang, maka kecenderungan kapitalis-kapitalis kontemporer adalah tidak menghasilkan apa pun selain kekayaan untuk dirinya sendiri. Bila rasul kapitalisme liberal, Adam Smith, masih menekankan the wealth of nation sebagai tujuan akhir persaingan bebas, maka nabi-nabi kapitalisme neoliberal menekankan the wealth of individual capitalist sebagai tujuan tertingginya. Jadi, dapat disarikan bahwa tanah tempat tumbuhnya ideologi neoliberalisme adalah peralihan kapitalisme muda yang segar-bugar menjadi kapitalisme lanjut yang renta dan liar. Hukum persaingan bebas yang merupakan ruh kapitalisme akhirnya mencapai titik jenuh dan berbalik dengan berkembangnya pasar monopoli (saat ini kapital raksasa dunia hanya dikuasai sekitar 200 korporasi global). Dunia terpilah berdasarkan pembagian kerja global (dunia pertama pemasok kapital, dunia ketiga pemasok bahan baku dan tenaga kerja) dengan perantara pertukaran tunggal untuk seluruh dunia, yaitu uang (dollar).
B. Peran Lembaga ke-Mahasiswa-an Menghadapi Kapitalisme neoliberal
Mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat dengan predikat sosok intelektual sudah seharusnya mengambil bagian dalam upaya meng-counter kapitalisme neoliberal. Dalam dinamika gerakan mahasiswa, sudah tidak terbantahkan lagi bahwa perjuangan etis yang dilandasi cinta, etika, dan logika selalu mewarnai. Adalah hal yang tak mungkin kita sangkal bahwa saat ini, mahasiswa sudah digayuti semangat pragmatisme.
Seperti yang disebutkan dalam realitas kapitalisme neoliberal di atas, bahwa akan ada dampak diseluruh sendi kehidupan. Terutama dalam tatanan ekonomi dan social kemasyarakatan. Hal ini perlu disikapi secara dini dengan kritis yang solutif, bukan hanya wacana perlawanan yang mem-bias, tapi ada upaya konkrit yang perlu dijabarkan bersama.
Posisi mahasiswa yang memiliki nilai tawar yang tinggi harus jeli memanfaatkan ruang yang ada dari celah kebobrokan penerapan kapitalisme yang telah berwujud dalam neoliberalisme. Perjuangan etis yang lebih dikenal dengan perjuangan moral (moral force) harus dikedapankan dibanding perjuangan politik yang bisa saja melenakan dalam romantisme politik busuk yang dimainkan dalam neoliberalisme (tak ada kawan atau lawan yang abadi, yang abadi hanyalah kepentingan semata).
Lalu seperti apa peran lembaga kemahasiswaan meng-counter neoliberalisme ini?
Mahasiswa yang mengemban amanah sebagai agent of change, social control, dan moral force memiliki potensi yang besar dalam rangka meng-counter hegemoni kaum Neolib ini. Potensi intelektual, potensi massa, dan potensi grossrout yang dimiliki sangat bisa digunakan dalam menghadapi pengaruh neolib dengan mengedapankan potensi intelektual yang dimiliki. Disinilah peran lembaga kemahasiswaan menyatukan potensi intelektual yang dimiliki oleh para mahasiswa.
Perlu disadari oleh lembaga kemahasiswaan (LK), pengaruh neoliberalisme bukannya hanya dimainkan dalam ranah social universal tanpa melibatkan komponen institusi pendidikan. Salah satu agenda terbesar dari “Kaum neolib” adalah bagaimana arah kebijakan pendidikan nasional diarahkan ke dalam konsep liberalisme. Yaitu melahirkan peraturan perundang-undangan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang salah satu cabangnya Badan Hukum Perguruan Tinggi (BHP). Dimana perguruan tinggi akan dikelola seperti layaknya sebuah perusahaan. Dimana ada pemilik saham (pemegang modal) yang menjadi salah satu penentu kebijakan kampus. Efeknya tentu akan mudah dibaca seperti yang terjadi di UI, UGM, ITB, dan lain-lain. SPP akan naik, akan ada tambahan pungutan lain, keberadaan jurusan ditentukan oleh pasar, dan tentunya biaya pendidikan secara umum semakin mahal.
Mahasiswa yang tergabung dalam lembaga kemahasiswaan baik dari tingkat program studi, jurusan, fakultas, hingga universitas harus mampu meng-counter liberalisasi pendidikan sebagai ranah yang digelutinya. Perjuangan yang sifatnya structural maupun cultural harus dilakukan sekarang ini (meskipun terlambat) dan jangan berhenti menyeruakan aspirasi sampai tujuan tercepai walau mengorbankan harta, waktu, dan tenaga.
Disamping itu, lembaga kemahasiswaan harus menyuarakan hak-hak yang terampas, baik di dalam kampus itu sendiri maupun diluar dengan mengedapankan dialog dan permusyawaratan. Bahkan dengan demonstrasi sekalipun. Hal yang tak boleh dilupakan juga, adalah dengan melakukan komunikasi dengan semua pihak dan mencetak kader yang militant, yang memiliki daya juang dan daya dobrak yamg tinggi (salah satunya melalui Intermediate Training ini).
Dalam rangka penguatan identitas kelembagaan, maka yang perlu dilakukan adalah dengan memperluas networking kepada person atau lembaga yang seideologi sehingga akan terjadi perpaduan gerak. Wacana-wacana penentangan akan kapitalisme neoliberal terus digulirkan baik secara internal maupun eksternal dengan memanfaatkan media massa yang ada.
Strategi seperti ini harus bisa dijawab oleh lembaga kemahasiswaan sebagai organisasi perjuangan (bukan sekedar organisasi kader semata). Stagnasi akan terjadi ketika LK hanya memainkan perannya dilingkup internal dengan mengedapankan melaksanakan program kerja, tanpa memperhatikan realitas social yang semakin miris dengan hegemoni kaum neolib.
Sekali lagi, perjuangan moral dan perjuangan politis harus mampu disandingkan. Sehingga ada keseimbangan antara gerak dengan tujuan yang ingin diraih, tanpa melupakan cinta, etika, dan logika.

C. Kesimpulan
Dalam Neoliberalisme sebagai ideology maupun strategi akan senantiasa memainkan peran. Ideology dari neoliberalisme pemujaan pasar dan subordinasinya semua kehidupan pada tuntunannya, termasuk pada pemerintah, individu dan alam. Neoliberalisme sebagai strategi meliputi swastanisasi (privatisasi), pemotongan subsidi, terorisme keuangan, efesiensi dan keuntungan. Sebagai sebuah ideology, pembangunan berkelanjutan sebenarnya menuntut segala sesuatunya untuk memenuhi tendensi pembangunan capital dan menjadikannya sebagai komoditi yang bias dijual dan mendapat keuntungan.
Disinilah peran mahasiswa dan lembaga kemahasiswaan mampu meng-counter neoliberasme. Olehnya, perlu pembelajaran yang kontinu dan sistematis merumuskan perjuangan melawan kaum neolib ini. Bukan sesuatu yang mudah (lawan sangat kuat) untuk melakukan dengan sekejap. Membentuk networking untuk memperkuat misi disamping melakukan pencerahan ideologis ditengah-tengah masyarakat adalah langkah pasti yang perlu dilakukan.
Namun, kadang ketika idealisme sering didengungkan. Justru kita yang memainkan idealisme ke dalam lubang pragmatisme. Identitas lembaga dijual. Perlu ada konsulidasi dan komunakasi aktif di antara seluruh lembaga kemahasiswaan tanpa mengorbankan identitas lembaga dan idealisme.
*   Makalah ini dibuat sebagai syarat mengikuti Intermediate Training (LK II) yang    diadakan oleh BEM FT UNM di Gedung Kartini, 25-29 Januari 2008.

**  Penulis adalan mahasiswa Elektronika FT UNM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar