Jumat, 03 Mei 2013

Cendikiawan Klepto

Sesuatu yang buruk, tapi karena dianggap biasa dan dibiasakan akan menjadi budaya” (anonim)

Realitas kebangsaan kita memang dalam kondisi  yang sangat mengkhawatirkan. Bangunan yuridis UUD 1945 dan Pancasila tidak lagi kokoh, karena secara de facto, pemerintahan kita seakan telah menerapkan sistem kehidupan yang tidak mencerminkan falsafah hidup negara. Sistem ekonomi sudah mengabdi pada kapitalisme, sistem pendidikan yang absur dan semakin tidak humanis, sistem hukum seperti barbarian saja, dan masih banyak kondisi real kehidupan berbangsa yang begitu memiriskan. Demokrasi sekarang menjadi kleptokrasi. 

Kleptokrasi berasal dari bahasa Latin (kleptein dan cracy), yang berarti mencuri (to steal) atau mengambil paksa sesuatu yang bukan menjadi hak (to rob). Negara kleptokrasi adalah sebuah negara yang dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan ditandai oleh keserakahan, ketamakan, dan korupsi yang merajalela (a government characterized by rampant greed and corruption) (Alhumami, 2005). Inilah yang terjadi saat ini. Keserakahan, ketamakan, dan korupsi yang ada pada awalnya sesuatu yang dicela, karena dianggap biasa dan dibiasakan, maka keserakahan, ketamakan, dan korupsi sekarang telah menjadi budaya baru.

Indonesia saat ini bisa disamakan kondisinya dengan beberapa negara yang pernah mengalami hal yang serupa. Sebut saja Iran di zaman Shah Reza Pahlevi, Zaire pada masa Mobutu Sese Seko, Rumania pada era Nicolae Ceausescu, Chile pada zaman Augusto Pinoche, Filipina pada masa dua kepresidenan Ferdinand Marcos dan Joseph Estrada. Negara kleptokrasi adalah negara yang dikendalikan oleh aparatur-aparatur korup, yang bersekongkol dengan pengusaha hitam untuk menguras kekayaan negara demi kepentingan pribadi. Para penguasa dan kroni-kroninya menggunakan mekanisme resmi di dalam administrasi pemerintahan negara atau memanfaatkan kekuasaan untuk melakukan tindakan ilegal, antara lain, memanipulasi dan menggelapkan pajak, melakukan pencucian uang, mengelola bisnis gelap, menjadi pelindung atau pelaku dagang dalam black market
, menjadi cukong pembalakan liar, atau menjadi bandar peredaran narkoba.
Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah di dunia pendidikan atau akademik kita tidak ada kleptokrat?

Semua dimensi kehidupan berbangsa saat ini sudah dirasuki keserakahan, ketamakan, dan korupsi, termasuk di dalamnya dunia pendidikan kita. Karut marut pelaksanaan ujian nasional (UN) tidak lepas dari keserakahan, ketamakan, dan korupsi aparat yang memegang tanggungjawab. Tender pencetakan lembar soal dan jawaban yang tidak transparan dan terindikasi korupsi, permainan anggaran UN yang besar, kualitas lembar jawaban yang kurang, praktek mafia penyedia jawaban, dan lain sebagainya. Itu baru dari pelaksanaan UN, belum kita lihat dunia akademik secara keseluruhan.

Dunia akademik adalah dunia para kaum cendikiawan dan terpelajar. Seyogyanya, kaum cendikia dan terpelajar ini jauh dari hiruk pikuk keserakahan, ketamakan, dan korupsi. Dalam idealisasi itu, cendekiawan dipandang sebagai makhluk suci yang jauh dari perangai buruk dan perilaku tercela. Cendekiawan adalah resi yang selalu berkhotbah tentang pentingnya menjalani kehidupan berdasarkan prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai luhur: kejujuran, kebajikan, kebersihan, dan asketisme; mengutamakan pengabdian yang tulus dan kerja-kerja kemanusiaan; menyeru pada kebaikan dan kemaslahatan; dan menolak laku hidup yang bertentangan dengan etika dan keadaban. Pandangan ideal itu selalu menempatkan sosok cendekiawan sebagai pejuang kebenaran, penegak keadilan, dan sumber inspirasi dalam mengelola kekuasaan dan menjalankan pemerintahan demi kesejahteraan rakyat.

Sayangnya konsep ideal itu sekedar idealisasi saja, banyak yang menyebut dirinya cendikiawan dan menyandang gelar akademik yang tinggi tidak memiliki nilai-nilai luhur. Anggota DPR pusat hingga daerah, kepala pemerintahan semua struktur, pos-pos pemerintahan, dan posisi lainnya baik di yudikatif, legislatif, dan eksekutif adalah orang-orang terpelajar dan diantara mereka adalah cendikia, tapi mereka masih korupsi. Banyak guru besar, professor, dosen dan guru tergelincir ke lembah keserakahan, ketamakan, dan korupsi.

Guru besar dan professor lebih sering mencari proyek daripada mengajar di kelas dan dihadapan mahasiswa (http://edukasi.kompasiana.com/2013/05/02/ironisnya-sang-profesor-552144.html), dosen lebih sibuk penelitian dibanding mengajar, guru malas masuk kelas mengajar muridya, budaya plagiat karya ilmiah dianggap lumrah, guru dan dosen menjual buku dan LKS di kelas, dan masih banyak prilaku menyimpang lainnya.

Lalu mengapa kaum cendekiawan dan akademisi sampai larut dalam praktik tercela ini? Semua itu lantaran mereka telah terperangkap oleh gaya hidup konsumerisme, hedonisme, dan materialisme. Kita mengamati gejala umum di masyarakat yang cenderung menonjolkan sisi gemerlap dalam kehidupan sehari-hari. Kini banyak orang memuja kemewahan sehingga mereka terdorong untuk berkompetisi dan mengungguli satu sama lain. Menyedihkan, mereka demikian bernafsu mengumpulkan uang bukan sekadar untuk mencukupi kebutuhan hidup secara layak, tetapi berupaya saling mengalahkan dan memamerkan kemewahan.Untuk memenuhi hasrat hedonistik dan nafsu menumpuk materi itu, mereka sama sekali tak peduli bila harus melakukannya dengan cara tidak terpuji. Asketisme, kesederhanaan, dan ketulusan yang selama ini menjadi atribut kaum cendekiawan dan akademisi kini mulai tergerus oleh kecenderungan sikap dan perilaku memuja materi dan kemewahan.

Kini para cendekiawan mungkin merasa lelah menjalani hidup sederhana, tidak kuat lagi berlarian mengejar bis kota di tengah terik matahari, berdesak-desakan di dalam angkutan umum yang panas, pengap, dan berpeluh. Mereka tergoda oleh imajinasi kehidupan metropolitan nan mewah dan memandang gengsi sosial sebagai hal yang paling utama. Akhirnya, mereka tunduk pada kekuatan materi yang mengundang pesona. Namun mereka lupa, materi, kemewahan, dan gengsi sosial tak sama dengan martabat mulia, apalagi bila semua itu diperoleh melalui korupsi.
 
Saatnya kita sadar, orang yang mengaku cendikia dan terpelajar, segeralah tanamkan kembali jiwa-jiwa asketisme, kesederhanaan, dan ketulusan. Masih banyak orang yang membutuhkan ilmu dan pengetahuan kita, lebih baik kita mengabdi kepada mereka yang butuh, bukan lagi terjebak dalam keserakahan, ketamakan, dan korupsi. Kembalilah ke habitus  semula!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar