Kamis, 18 April 2013

Reposisi Evaluasi Pendidikan yang Lebih Humanis

Karut marut pelaksanaan Ujian Nasional (UN) seperti yang terjadi saat ini merupakan petanda bahwa ada yang salah dengan sistem evaluasi pendidikan kita. Menurut Menteri Pendidikan, Muh. Nuh, bahwa ketertundaan pelaksanaan UN di 11 provensi hanya faktor teknis saja. Percetakan yang diberikan wewenang mencetak lembar soal dan jawaban tidak bisa menjalankan tanggungjawab yang diberikan, hal ini diperparah proses distribusi kelengkapan ujian tidak berjalan dengan baik. Secara sederhana, sekilas ini masalah teknis semata, tapi dalam konteks sistem pendidikan nasional secara umum, terasa ada yang salah.

Dalam tulisan saya kali ini, saya tidak memperdebatkan faktor teknis itu, tapi saya lebih menyoroti evaluasi pendidikan dari segi substansi evaluasi itu sendiri. UN adalah sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah secara nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan  berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional dilakukan evaluasi sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Yang menjadi pertanyaan besar, apakah UN itu bersifat holistik? apakah UN itu mengedepankan nilai-nilai kemanusian seperti keadilan? Sebenarnya masih banyak pertanyaan yang bisa kita kaitkan dengan UN, tapi dalam diskursus saya kali ini hanya didua pertanyaan tadi.
 Idealitas Evaluasi Pendidikan

Secara umum evaluasi adalah suatu proses sistematik untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan efesiensi suatu program (Sidin Ali, 2012). Ralph Tyler mengartikan evaluasi pendidikan sebagai proses menentukan sampai sejauhmana tujuan pendidikan dicapai (Farida, 2008). Evaluasi yang dikaitkan dengan pembelajaran di sekolah merupakan suatu usaha untuk mengukur beberapa atribut atau tingkah laku individu seperti pengetahuan, sikap, dan keterampilan guna membuat keputusan tentang status atribut tersebut. Keputusan yang didasarkan atas pengukuran atribut-atribut tersebut kemudian menentukan tingkat penguasaan peserta didik atau keberhasilan mengajar seorang tenaga pendidik setelah dibandingkannya dengan standar yang telah ada/dibuat sebelumnya.

Berdasarkan Taksonomi Bloom, Pendidikan atau pembelajaran secara utuh dibagi dalam tiga ranah, yaitu ranah Kognitif (kemampuan intelektual), Afektif (sikap/tingkah laku), dan Psikomotorik (keterampilan). Evaluasi pendidikan yang holistik harus mampu mengintegrasikan ketiga ranah tersebut. Lalu bagaimana UN?
UN kita sudah mahfum bahwa hanya alat tes untuk mengukur kognitif peserta didik. Koginitif yang diukur sekedar pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehention), dan penerapan (Application). Disinilah kesalahan fundamental pelaksanaan UN, seharusnya UN menilai ketiga ranah tersebut, tetapi UN hanya mengukur satu ranah saja. Selain itu, penetapan kelulusan tolok ukur utama didasarkan pada nilai UN (60%), bukan ujian sekolah yang berbasis penilaian guru. Guru yang melaksanakan pembelajaran di sekolah, tahu pola sikap dan pola jiwa peserta didiknya, lebih paham sejauhmana kemampuan dan keterampilan siswanya, tapi anehnya, kelulusan peserta didik secara dominan dipengaruhi oleh hasil UN, yang proses penilaiannya tidak melibatkan guru. Peran guru sebagai ujung tombak perbaikan mutu pendidikan hanya sekedar jargon, bahkan bisa dikatakan kemampuan dan kewajiban guru dalam melakukan penilaian dan evaluasi pembelajaran  terhadap peserta didiknya telah dikebiri oleh UN.

Evaluasi Pendidikan yang Humanis

Paulo Freire dan Ali Syariati bisa disebut pemikir humanisme dalam pendidikan. Pendidikan merupakan upaya memanusiakan manusia, bukan dalam rangka menjadikan manusia robot-robot kurikulum, yang belum tentu sesuai dengan minat, bakat, bahkan potensi kemanusiaan peserta didik. Evaluasi pendidikan sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan sistem pendidikan, harus diarahkan bagaimana menciptakan evaluasi yang humanis atau dalam artian berkeadilan, transparan, jujur, dan bertanggungjawab. Prinsip dasar evaluasi harus ditegakkan, prinsip-prinsip itu meliputi: 1) menyeluruh (holistik), dalam artian penilaian harus menyeluruh, tuntas, dan utuh mencakup tiga ranah seperti yang disebutkan sebelumnya, 2) berkesinambungan, diartikan bahwa penilaian harus dilakukan secara berencana, bertahap, teratur dan berkesinambungan, 3) berorientasi tujuan, penilaian diarahkan untuk mencapai tujuan, 4) adil dan objektif, 5) terbuka, 6) bermakna, 7) mendidik, dan 8) valid.

Evaluasi pendidikan yang baik harus menggunakan dan menerapkan prinsip-prinsip diatas, sayangnya sistem evaluasi pendidikan kita tidak menerapkan prinsip-prinsip dasar tersebut. UN telah kita sebut tidak holistik (tidak menyeluruh), tidak teratur, lebih berorientasi kepentingan dan kekuasaan politik, tidak adil (karena adanya penyetaraan/standarisasi padahal kondisi psikologis, geografis, ekonomis, dan sosbudpol setiap tempat pelaksanaan UN berbeda), tidak objektif karena guru tidak dilibatkan aktif, tidak terbuka karena hasil akhir yang lebih diutamakan, tidak bermakna, peserta terdidik secara kompetitif bukan aspiratif dan egaliter, bahkan tidak valid karena belum tentu bahan UN disetiap tempat itu sama.

Evaluasi pendidikan harus direposisi, tidak sekedar diorientasikan pada kumpulan-kumpulan skor akhir belajar, tapi bagaimana evaluasi pendidikan menghasilkan peserta didik yang memiliki karakter jujur, adil, bertanggungjawab, dan punya karakter humanis transenden. UN harus dievaluasi total,bukan hanya faktor teknisnya semata, tapi secara sistemik, bahkan UN harus berorientasi kemampuan siswa, bukan keinginan-keinginan penguasa.

Evaluasi pendidikan akan mencapai tujuan sebagaiman tujuan dalam sisdiknas ketika sarana prasarana pendidikan terstandarisasi dan merata, pembiayaan pendidikan yang mandiri (amanat APBN 20%), pengelolaan pendidikan yang baik, kemudian ditunjang kurikulum dan tenaga pendidik yang baik pula.

Salam malam, salam damai dunia pendidikan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar