Senin, 09 Januari 2012

UNSUR-UNSUR METAFISIK DALAM TUBUH MANUSIA


Oleh: Hazrat Inayat Khan
Diterjemahkan oleh: R. Sunarman [ halida@tgl.mega.net.id ]
i. KOMPOSISI TUBUH FISIK

Tubuh fisik kita terdiri dari lima unsur utama, yang juga merupakan unsur penyusun seluruh alam semesta. Kulit, daging, dan tulang mempunyai sifat tanah. Darah, keringat, dan ludah menunjukkan sifat air. Panas di dalam tubuh dan sistem pencernaan menunjukkan sifat api. Napas dan kerja di dalam tubuh yang memungkinkan kita untuk meregang dan berkontraksi, dan daya untuk pergerakan yang tak membiarkan kita diam sesaat pun, menunjukkan unsur udara. Unsur ether di dalam tubuh mengendalikan kegiatan kita dan secara bertahap mengkonsumsi semua unsur lain. Karena itu anak-anak lebih aktif, sedangkan orang tua lebih tenang dan cenderung diam.

Itulah penjelasan kasar tentang berbagai bagian tubuh yang menunjukkan berbagai unsur. Mereka berkaitan sebagai berikut: tulang dengan unsur tanah; daging dengan air; darah dengan api; kulit dengan udara; rambut dengan ether.

Di dalam tulang tidak ada sensasi sebagaimana dalam tanah. Pengerutan dan pengembangan jaringan, rasa sakit pada daging, dan pengaruh air baik ke dalam maupun ke luar, membuktikan bahwa daging berhubungan dengan unsur air. Sirkulasi darah secara mutlak bergantung kepada panas; ia mengalir ketika unsur api bekerja. Udara mempengaruhi kulit. Pada cuaca yang panas kulit menjadi lebih gelap, dan lebih terang bila dingin; menjadi kasar bila cuaca buruk, dan halus ketika cuaca baik. Gelap-terangnya kulit terutama dipengaruhi oleh keadaan iklim tempat seseorang dilahirkan dan tinggal. Rambut berkaitan dengan ether dan paling tidak peka, tidak terasa bila dipotong atau dibakar.

Pengeluaran tiap jenis kotoran tubuh dipengaruhi oleh unsur tertentu. Gerakannya disebabkan oleh tanah; kencing disebabkan oleh unsur air; keringat oleh api; ludah oleh udara; mani oleh ether.
ii. MANFAAT MISTIK DARI TUBUH

Tubuh manusia dapat dibagi menjadi dua bagian: kepala dan tubuh. Kepala adalah Shuhud, bagian ruhaniah, dan tubuh adalah Wujud, bagian material. Pada kepala, mulai dari ubun-ubun hingga pipi merupakan bagian yang ekspresif; sedangkan pada tubuh, bagian yang ekspresif adalah separo bagian atas.

Otak dan hati merupakan dua bagian terpenting karena para ilmuwan berpendapat bahwa otak berpikir, sedangkan orang-orang kolot meyakini bahwa hati merasakan. Dalam pandangan Sufi, keduanya benar dalam satu hal, dan salah dalam satu hal. Kenyataannya, yang berpikir bukanlah otak, otak merupakan alat yang digunakan pikiran untuk membedakan gagasan dalam bentuk konkrit. Piano tidak mengarang lagu, pengarang lagulah yang mencoba komposisinya dengan piano agar jelas bagi dirinya. Bukan pula kamera yang mengambil gambar, melainkan cahaya dan film. Kamera merupakan medium bagi keduanya, demikian pula otak. Dengan kerusakan di dalam otak, menurut para ilmuwan, seseorang tidak sempurna pikirannya. Tetapi seorang Sufi meyakini bahwa tiada sesuatu yang salah dengan pikirannya; yang salah adalah alat yang dipakai oleh pikiran untuk berfungsi.

Kesalahan konsepsi juga terjadi pada orang yang meyakini bahwa hati merasakan. Hati, yang merupakan pusat tubuh, turut merasakan pengaruh perasaan dari dalam - yang hati yang sejati, bukan sepotong daging – dan ia merasa tercekik dan tertekan. Depresi dirasakan sebagai beban berat di dada. Dan ketika getaran berat itu hilang, maka seseorang merasakan kegembiraan dan hatinya merasa ringan. Hal ini menjelaskan Shaqq-i-sadr, pembelahan dada Muhammad oleh malaikat ketika rasa takut, gelap, pahit, dan bangga dibuang sebelum menerima wahyu ilahi; seperti kegelapan yang lenyap ketika matahari bersinar.

Sebagaimana otak merupakan alat dari pikiran yang tidak tampak, dan hati daging merupakan kendaraan dari hati di dalamnya yang bukan merupakan substansi, demikian pula cahaya jiwa, keberadaan kita yang tak terlihat, yang cahayanya terpancar di dalam tubuh fisik ini. Ketika aktif ia memancar melalui mata, melalui pancaran wajah, mengubah suasana lingkungan menjadi daya tarik. Cahaya ini berasal dari suara, baik cahaya maupun gema suara di dalam tubuh fisik. Bagi seorang Sufi, pencari diri di dalam, ia mendapatkannya ketika is mampu menguasai gerbang rumah sucinya, tubuh fisiknya. Maka, cahaya dan suara itu tidak lagi memancar keluar melalui ekspresi, melainkan menjelma di dalamnya.
 
iii. SIFAT PANCA INDERA DAN ORGAN INDERA

Kelima indera yang kita miliki ialah: penglihatan, pendengaran, penciuman, pencicip, dan peraba. Dua indera terpenting ialah penglihatan dan pendengaran, dan dari keduanya yang lebih penting adalah penglihatan. Indera peraba diperoleh melalui kulit, yang mengandung unsur tanah, dan peka terhadap panas dan dingin. Indera pencicip bekerja melalui lidah, yang merupakan unsur air; semua rasa asin, asam, manis, pedas dan pahit, dibedakan olehnya. Bau ditangkap dengan medium hidung, yang merupakan saluran napas. Indera pendengaran merupakan unsur udara, dan ditangkap melalui medium telinga. Indera penglihatan merupakan unsur ether, bekerja melalui medium mata; di dalam bagian tubuh material terdapat substansi jiwa.

Tiap indera mempunyai dua aspek: Jalal dan Jamal, aspek kehidupan yang kuat dan lemah, yang ditunjukkan dengan sisi kiri dan kanan, dan kerjanya yang ekspresif dan responsif. Karena itu, meskipun indera penglihatan itu satu, tetapi terdapat dua mata; indera pendengaran itu satu, tetapi terdapat dua telinga; indera penciuman satu, tetapi lubang hidung dua. Demikian pula setiap indera. Dua aspek di dalam alam telah menyebabkan perbedaan jenis kelamin; ruh manusia tak berkelamin, tetapi muncul ke permukaan dalam bentuk lelaki atau perempuan. Mitos Adam dan Hawa menunjukkan hal ini kepada mereka yang tahu: Hawa berasal dari tulang rusuk Adam, menunjukkan bahwa keduanya berasal dari satu Ruh.

Dalam kenyataan hanya ada satu indera, dan itu adalah arah dari pengalamannya, yang ditangkap melalui saluran tertentu. Dengan demikian maka tiap pengalaman berbeda satu sama lain, sehingga kita dapat membedakannya menjadi lima indera meskipun sesungguhnya satu.

Unsur apapun yang mendominasi sifat seseorang, indera yang berkaitan dengan unsur itu di dalam dirinya, adalah yang paling aktif. Sebagaimana napas berganti berkali-kali sepanjang hari dan malam, unsur-unsur bertindak sesuai dengan inderanya. Ini merupakan penyebab dari setiap kebutuhan indera. Bila seseorang memuaskan satu indera, ia akan membuat indera itu tumpul; misalnya seseorang yang sepanjang waktu berdekatan dengan minyak wangi, akhirnya indera penciumannya akan tumpul, termasuk kepada bau minyak wangi. Hal serupa terjadi pada indera yang lain. Karena itu para Sufi mengalami hidup melalui indera demi pengalaman, bukan demi kepuasan; yang pertama adalah penguasaan, sedangkan yang terakhir perbudakan.

iv. SUMBER HASRAT TUBUH

Sumber dari hasrat-hasrat tubuh adalah napas. Bila napas meninggalkan tubuh, semua hasrat akan lenyap pula. Napas mengalami perubahan dalam unsur-unsurnya; unsur-unsur  tanah, air, api, udara, dan ether – secara bergantian menguasai napas; dan ini dipengaruhi oleh berbagai tingkatan kegiatan napas. Dengan perubahan napas itu, hasrat-hasrat berubah pula. Karena itu, pada iklim tertentu seseorang merasa lapar, dan pada cuaca  tentu seseorang merasa haus, disebabkan oleh pengaruh cuaca terhadap napas, memberi tambahan unsur tertentu kepada napas.

Unsur-unsur tubuh seseorang berpengaruh besar terhadap hasrat-hasrat tubuhnya. Secara alami, orang yang sehat sering lapar dan haus. Orang  yang tak sehat, dengan pakaian agama mungkin berkata, 'Betapa rakusnya dia!'

Semua hasrat tubuh tampak dalam kepribadian seseorang. Tiada hasrat tanpa suatu unsur yang mempengaruhinya. Selain itu, setiap orang mempunyai unsur tertentu yang dominan di dalam tubuhnya, dan unsur lain dalam kadar yang lebih kecil. Atas dasar inilah kebiasaan dan hasrat seseorang bergantung.

Berikut ini adalah hubungan antara unsur-unsur  di dalam napas dan hasrat yang ditimbulkannya:

Tanah              (r) gerakan
Air                   (r) kencing
Api                  (r) haus
Udara             (r) selera makan
Ether               (r) nafsu

Orang sering mengacaukan hasrat dengan keserakahan, yang bukan merupakan hasrat tubuh, melainkan keinginan pikiran yang telah mengalami kesenangan melalui hasrat tubuh. Meskipun tidak ada hasrat tubuh, pikiran menuntut dan memaksa tubuh untuk menginginkan. Dalam hal ini hasrat tubuh tidak pada tempatnya, tak diinginkan, dan memperbudak seseorang.

Selama pemuasan setiap hasrat tubuh, jiwa turun ke bumi dari atas. Inilah yang dimaksud oleh mitos Adam dan Hawa yang diusir dari surga agar turun ke bumi; mengisyaratkan bahwa surga merupakan dataran di mana jiwa tinggal secara bebas dalam esensinya sendiri yang dapat mencukupi kebutuhan sendiri, dan bahwa bumi merupakan dataran di mana jiwa mengalami kesenangan melalui pemuasan hasrat tubuh atas obyek-obyek di luar.

Jiwa menjadi tawanan di dalam tubuh fisik ini, yang dapat mati dan membusuk, melupakan kebebasan dan kedamaian di tempat tinggal asalnya. Karena itulah para Sufi kadang-kadang mengalami pemuasan hasrat-hasrat, dan kadang-kadang meninggalkannya dengan sengaja agar jiwa dapat mengalami kesenangan sejati, keberadaannya sendiri, tidak tergantung pada pikiran dan tubuh. Dengan demikian jiwa mengetahui tempat tinggal awal dan akhirnya, dan ia mempergunakan tubuh, tempat tinggalnya di bumi, untuk mengalami hidup di bumi. Menurut pandangan para Sufi, tidak bijaksana untuk melenyapkan hasrat-hasrat tubuh, atau memuaskannya dan memperbudak hidup baginya. Para Sufi ingin memiliki hasrat, bukan dimiliki oleh hasrat.

 v. SUMBER EMOSI

Sumber emosi adalah napas; bila napas itu tak murni akan menimbulkan kebingungan; bila murni akan membawa terang. Ketika napas berubah dari satu unsur ke unsur lain, ia menghasilkan kecenderungan ke emosi tertentu di dalam tubuh. Namun dengan daya kehendak, kita dapat mengendalikannya.

Setiap emosi mempunyai warna dan rasa tersendiri. Suatu emosi berkembang menjadi emosi yang lain, karena penambahan dan pengurangan proporsi di dalam pikiran, menghasilkan emosi. Tiada emosi yang buruk selama ia berada di bawah kendali daya kehendak, tetapi bila tak terkendali, pengaruh yang terkecil pun akan merupakan dosa. Takut merupakan pengaruh dari unsur tanah. Kasih sayang merupakan pengaruh unsur air. Marah berasal dari pengaruh unsur api. Humor berasal dari pengaruh unsur udara; kesedihan dari pengaruh unsur ether.

Unsur-unsur mempunyai pengaruh seperti warna. Warna terang membuat pucat, dan kepekatan membuat warna menjadi dalam (gelap). Demikian pula dengan emosi: cahaya kecerdasan membuat emosi luntur, dan ketiadaan kecerdasan membuat emosi terasa sangat dalam. Dengan cahaya, pengaruh unsur tanah menghasilkan kehati-hatian. Pengaruh air di bawah cahaya menghasilkan niat baik. Unsur api dan cahaya menghasilkan kemauan kuat. Pengaruh udara dan cahaya menghasilkan kegembiraan; ether dan cahaya menghasilkan kedamaian.

Bila anda menyerah kepada suatu emosi, meskipun hanya sekali dan sebentar, ingatlah bahwa emosi lain yang mungkin anda tak ingin membiarkannya, juga akan menguasai anda. Ia adalah satu energi yang muncul atas pengaruh berbagai unsur, penampilan dari berbagai emosi. Dengan mengendalikan diri kita sendiri, kita dapat mengendalikan semua hal di dunia.
 
vi. UNSUR-UNSUR PEMBENTUK PIKIRAN

Pikiran terdiri dari lima unsur, seperti tangan yang memiliki lima jari, alam fisik mempunyai lima unsur utama, yang merupakan pembentuknya. Sebagaimana ether merupakan unsur yang terpisah dari tanah, air, api, dan udara, tetapi mengandung semua unsur-unsur, demikian pula unsur yang kita sebut hati, unsur yang terpisah dari keempat unsur yang lain, tetapi mengandung keempat unsur lain itu di dalamnya.

Tugas khusus hati adalah merasakan dan menghasilkan emosi dari dirinya. Unsur kedua adalah pikiran, berfungsi berpikir dan menghasilkan gagasan-gagasan. Unsur ketiga, ingatan (memori), bertugas mengumpulkan dan memberi kesan. Keempat, akal, bertugas untuk menimbang dan memutuskan. Kelima, ego, yang membuat seseorang berpikir tentang dirinya
sendiri sebagai sesuatu yang terpisah dari yang lain.

Kata 'hati,' dalam metafisika berarti pusat utama dari dataran mental. Sepotong daging yang kita kenal dengan hati adalah bagian yang peka di  dalam tubuh kita, yang merasakan pengaruh semua kesenangan dan penderitaan setiap organ lain. Dari pusat ini, napas menjalankan tugas menyebarkan energi ke seluruh tubuh fisik. Karena itu seorang Sufi memanipulasi pusat tubuh fisik ini ketika ia ingin memberi kesan kepada  diri mutlaknya dengan gagasan tertentu. Tetapi perkembangan yang pesat terletak pada pemurnian kelima unsur tersebut di atas dengan proses mistik dan pada penguasaan kelima unsur itu.

vii. PENGARUH PIKIRAN TERHADAP TUBUH, DAN PENGARUH TUBUH TERHADAP PIKIRAN

Pada mulanya sulit untuk mengatakan apakah kesan dari luar yang membentuk pikiran, ataukah kesan bagian dalam yang membentuk tubuh. Ternyata, keduanya. Tubuh membentuk pikiran dan pikiran membentuk tubuh. Pikiran membuat kesan yang lebih kuat pada tubuh, dan tubuh memberi kesan yang lebih jelas kepada pikiran. Pemikiran mengenai penyakit menyebabkan tubuh sakit. Pemikiran tentang keremajaan dan keindahan membangkitkan sifat ini. Kebersihan tubuh membantu memurnikan pikiran. Kekuatan tubuh memberi keberanian kepada pikiran.

Setiap perubahan dalam jaringan dan organ terjadi di bawah pengaruh pikiran. Dengan kata lain, pikiran 'melukiskan' gambar tubuh, kendaraannya dalam hidup. Marah, benci, iri, curiga, dan semua pemikiran buruk, berpengaruh pada tubuh fisik meskipun ia sendiri belum terbentuk. Pada wajahnya, semua orang menunjukkan keburukannya, yang tak dapat ditutupi dari mata orang yang melihatnya. Begitu pula dengan cinta, kebaikan, penghargaan, simpati, semua pemikiran dan perasaan yang baik. Semua tampak pada bentuk dan wajah seseorang, dan memberi bukti kebaikan seseorang atas berbagai tuduhan.

Dosa dan amal kebaikan tak berpengaruh terhadap seseorang bila pikiran tak memberi kesan. Begitu pula gagasan baik atau buruk tak bekerja pada tubuh luar bila kesan segera dihapus dari pikiran. Karena itu orang-orang suci di Timur menguasai konsentrasi pikiran, untuk membantu menghapus segala sesuatu yang tak diinginkan, karena manusia memang tercipta untuk membuat kesalahan. Orang memperoleh daya ini dengan mengumpulkan semua kebaikan di dalam pikiran, sehingga keburukan dengan sendirinya akan terusir keluar. Dengan melakukan hal ini secara konstan, orang akan mencapai penguasaan.

viii. JIWA ITU SENDIRI

Jiwa itu sendiri tak lain dari kesadaran, yang mencakup segala sesuatu. Namun bila kesadaran itu tertawan di dalam keterbatasan karena dikerumuni oleh unsur-unsur, maka dalam keadaan tertawan itu ia disebut jiwa.

Orang Cina menggunakan perumpamaan lebah untuk menjelaskan jiwa. Secara simbolis ia menunjuk kepada mata, yang bijinya seperti lebah. Dengan kata lain, sifat jiwa dapat dipelajari melalui sifat mata. Semua benda yang tampak oleh mata akan direfleksikan di dalamnya untuk beberapa saat. Bila pandangan mata dialihkan, refleksi itu lenyap; ia hanya menerimanya pada saat itu.  Demikian pula sifat jiwa. Muda, tua, indah, buruk, dosa atau amal; semuanya berada di depan jiwa selama keberadaan fisik atau mentalnya. Karena tertarik kepada refleksi, jiwa melihat dan terikat oleh obyek yang direfleksikan; tetapi jiwa itu segera terbebas dirinya bila mengalihkan perhatiannya. Amir Minai, seorang penyair Hindustan, berkata, 'Bagaimana pun cepatnya aku terikat oleh dunia, hanya perlu sesaat untuk melepaskannya. Aku akan memutuskannya dengan mengubah keberpihakan.'

Setiap pengalaman dalam dataran fisik atau astral hanyalah mimpi bagi jiwa. Bodoh bila menganggap pengalaman itu sebagai nyata, karena ini berarti bahwa ia tak dapat melihat diri sendiri; seperti mata yang dapat melihat segalanya kecuali dirinya sendiri. Maka, jiwa mengidentifikasi diri sendiri dengan segala sesuatu yang dilihatnya, dan mengubah identitas diri sendiri dengan pandangan yang senantiasa berubah.

Jiwa tak mengenal kelahiran atau kematian, awal atau akhir. Dosa tak menyentuhnya, dan amal tak dapat memuliakannya. Kearifan tak dapat membukanya, kebodohan tak dapat menggelapkannya. Ia selalu ada dan akan terus ada. Inilah keberadaan sejati manusia, yang lain hanyalah selubungnya. Kebebasan jiwa datang dari dayanya sendiri, yang berakhir pada pemutusan tali yang mengikatnya di dataran fisik. Jiwa itu bebas berdasarkan sifat alaminya, dan mencari kebebasan selama tertawan. Semua orang  suci di dunia menjadi suci dengan cara membebaskan jiwa, kebebasan jiwa ini merupakan satu-tujuan dalam hidup.

iv. JIWA DENGAN PIKIRAN

Jiwa dan pikiran adalah seperti air laut dan garam. Pikiran datang dari jiwa seperti garam dari air. Ada saat di mana pikiran tenggelam di dalam jiwa, seperti garam larut di dalam air. Pikiran merupakan hasil dari jiwa, seperti garam yang keluar dari air. Jiwa dapat ada tanpa pikiran, tetapi pikiran tak dapat hadir tanpa jiwa. Namun jiwa lebih murni tanpa pikiran, tanpa ditutupi oleh pikiran.

Pikiran menyelubungi jiwa seperti bola kaca yang menutupi lampu. Pikiran yang berdosa membuat jiwa berdosa, pikiran yang baik membuat jiwa baik, bukan dalam sifat tetapi dalam pengaruh, seperti bola kaca merah akan menghasilkan cahaya merah, dan bola kaca hijau membuat cahaya tampak hijau, meskipun lampunya sendiri tidak merah dan tidak hijau. Ia tak berwarna, warna hanyalah penampilannya.

Jiwa berbahagia apabila ada kebahagiaan di dalam hati. Ia sedih bila terdapat kesedihan di dalam pikiran. Jiwa meninggi bersama dengan ketinggian imajinasi. Jiwa menyelam ke dalam bersama dengan kedalaman pikiran. Jiwa tidak tenang bersamaan dengan ketidaktenangan pikiran, dan ia memperoleh ketenangan bila pikiran damai. Dalam keadaan di atas, pikiran sama sekali tak mengubah sifat jiwa, tetapi pada saat itu tampaknya demikian. Jiwa adalah burung surga, penghuni bebas semua langit. Penjara pertama adalah pikiran, kemudian tubuh. Di dalamnya ia tidak hanya terbatas, tetapi juga menjadi tawanan. Seluruh upaya seorang Sufi dalam hidup adalah untuk membebaskan jiwa dari keadaan tertawan, yang dilakukan dengan mengalahkan pikiran dan tubuh.

x. JIWA DENGAN PIKIRAN DAN TUBUH

Tubuh merupakan kendaraan dari pikiran, dibentuk oleh pikiran; seperti pikiran, yang merupakan kendaraan dari jiwa, dibentuk oleh jiwa. Dengan kata lain,  tubuh dapat disebut kendaraan dari suatu kendaraan. Jiwa adalah hidup dan kepribadian, keduanya. Pikiran tampak hidup bukan oleh pikiran itu sendiri, melainkan oleh kehidupan jiwa. Demikian pula dengan tubuh, yang tampak hidup karena adanya pikiran dan jiwa. Bila keduanya dipisahkan dari tubuh, ia menjadi mayat.

Apakah pikiran berpengaruh pada tubuh, ataukah tubuh berpengaruh terhadap pikiran? Secara alami seharusnya pikiran bekerja atas tubuh, tetapi biasanya tubuh mempengaruhi pikiran. Ini terjadi bila seseorang mabuk atau bila menderita penyakit. Hubungan antara jiwa dan pikiran dapat dipahami dengan alur pikiran yang sama. Seharusnya jiwa bekerja di atas pikiran, tetapi biasanya pikiran bekerja di atas jiwa.

Pikiran tak dapat berbuat lebih dari membuat ilusi kesenangan atau kesedihan,  pengetahuan atau kebodohan, bagi jiwa. Apa yang dapat dilakukan tubuh terhadap pikiran hanyalah menyebabkan sedikit kebingungan untuk beberapa saat, untuk memenuhi keinginannya sendiri tanpa kendali pikiran. Karena itu, semua dosa, keburukan dan kekeliruan -- adalah apa yang dipaksakan oleh tubuh kepada pikiran, dan oleh pikiran kepada jiwa. Semua kebaikan dan kebenaran adalah yang berasal dari jiwa kepada pikiran dan dari pikiran kepada tubuh. Inilah makna sejati dari doa Nabi Isa, 'Jadilah kehendak-Mu, di bumi sebagaimana di dalam sorga.' Dalam perkataan lain, 'Apa yang Engkau pikirkan di dalam jiwa, pikiran harus mematuhi, dan apa yang Engkau pikirkan dalam pikiran, tubuh harus mematuhinya.' Dengan demikian maka tubuh bukan pemberi perintah kepada pikiran, dan pikiran bukan pemimpin bagi jiwa.

Jiwa adalah keberadaan sejati kita; melalui jiwa kita menghayati dan menyadari kehidupan kita. Bila karena kehilangan daya magnetiknya, tubuh kehilangan pegangan atas pikiran, tampaknya kematian telah tiba. Kemudian pengalaman hidup jiwa hanya melalui satu kendaraan, yaitu pikiran, yang di dalamnya terkandung dunianya sendiri, yang terbentuk dari pengalamannya di bumi di dataran fisik. Ini adalah sorga yang penuh dengan kesenangan, dan neraka bila berisi kesedihan. Ketakberdayaan pikiran, bila ia kehilangan cengkeraman atas jiwa, adalah masa penantian (purgatory). Ketika pikiran kehilangan daya cengkeram, inilah akhir dari dunia bagi jiwa; tetapi jiwa masih hidup. Ia adalah ruh dari Keberadaan Abadi, dan tidak mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar