Sabtu, 15 Juni 2013

Bullying: Budaya Dekonstruktif

         Rencana malam ini mau meng-input data-data hasil penelitian, tapi karena asyik membaca artikel dan opini-opini yang ada di Kompasiana, semua itu terlewatkan. Sejak siang tadi, bacaan saya lebih tertarik pada tulisan Deandra dan Anindya GK. Subjek ketertarikannya tentunya karena kedua tulisan ini berada dalam “medan perang” ide dan kreatifitas, dan saling menonjolkan ke-aku-annya. Saya tidak tahu sebab musababnya, tapi yang pastinya mereka berdua lagi “bermusuhan”. Saya tidak mau terjebak dalam kondisi yang tidak nyaman itu, saya lebih tertarik pada prilaku “Bullying” diantara mereka dan hobi mencela diantara sesama manusia. Setelah membaca tulisan mereka, segera mencari referensi tentang BULLYING itu, alhamdulillah saya menemukan buku psikologi, filsafat, agama, dan beberapa artikel yang berkaitan dengan hal tersebut.

Bullying Merupakan Prilaku Menyimpang
Definisi bullying seperti disebutkan dalam psychologymania.com merupakan sebuah kata serapan dari bahasa Inggris. Istilah Bullying belum banyak dikenal masyarakat, terlebih karena belum ada padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia (Susanti, 2006). Bullying berasal dari kata bully yang artinya penggertak, orang yang mengganggu orang yang lemah. Beberapa istilah dalam bahasa Indonesia yang seringkali dipakai masyarakat untuk menggambarkan fenomena bullying di antaranya adalah penindasan, penggencetan, perpeloncoan, pemalakan, pengucilan, atau intimidasi (Susanti, 2006).
Bullying adalah salah satu bentuk interaksi peer victimization yaitu interaksi yang menjadikan salah satu anggota kelompok atau teman sebagai target rutin dari kekerasan fisik maupun kekerasan verbal. Fenomena Bullying sebenarnya adalah salah satu dari bentuk perilaku agresif. Perilaku agresif didefinisikan sebagai salah satu kategori perilaku yang menyebabkan atau mengancam luka fisik pada orang lain. Agresif disini mengarah pada perilaku yang bervariasi termasuk agresif verbal, Bullying, perkelahian, perampokan/pemalakan, pemerkosaan dan pembunuhan. Rigby (2003) menguraikan unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian bullying yakni antara lain keinginan untuk menyakiti, tindakan negatif, ketidakseimbangan kekuatan, pengulangan atau repetisi, bukan sekedar penggunaan kekuatan, kesenangan yang dirasakan oleh pelaku dan rasa tertekan di pihak korban.

Rigby (2003) menguraikan juga beberapa karakteristik pelaku bullying, diantaranya: tidak matang secara emosional, tidak mampu menjalin hubungan akrab, kurang kepedulian terhadap orang lain, moody dan tidak konsisten, mudah marah dan impulsive, dan tidak memiliki rasa bersalah atau menyesal. Sedangkan faktor penyebabnya adalah kecemasan dan perasaan inferior dari seorang pelaku, persaingan yang tidak realistis, perasaan dendam yang muncul karena permusuhan atau juga karena pelaku bullying pernah menjadi korban bullying sebelumnya, dan ketidak mampuan menangani emosi secara positif (Rahma, 2008).
Berdasarkan pandangan-pandangan di atas, dapat disimpulkan bullying merupakan prilaku menyimpang dan mempunyai efek jangka panjang ketika pelaku dan korban tidak menemukan kata damai. Bullying merupakan bentuk awal dari perilaku agresif yaitu tingkah laku yang kasar. Bisa secara fisik, psikis, melalui kata-kata, ataupun kombinasi dari ketiganya. Hal itu bisa dilakukan oleh kelompok atau individu. Ketidakseimbangan yang tercipta akibat budaya bullying ini akan semakin menenggelamkan sisi kemanusiaan, yaitu semangat saling menghargai, menghormati dan toleransi. Dalam konsepsi Bugis-Makassar, sudah semakin nihil siri’ na pacce-nya, hilang budaya sipakatau, sipakainge‘ dan sipatokkong.

Islam Melarang Bullying
Tindakan bullying merupakan salah satu bentuk penganianyaan. Dalam islam, penganianyaan termasuk perbuatan yang tidak terpuji. Apalagi penganianyaan terhadap sesama manusia. Seperti yang telah tertulis dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 30 yang artinya “Barang siapa memperbuat demikian itu, dengan melampaui batas dan aniaya, nanti akan kami masukkan dia ke dalam neraka. Yang demikian itu amat mudah bagi Allah” dan surat Al-Hujurat ayat 11 yang artinya “Hai Orang-orang yang beriman, janganlah kaum laki-laki menghinakan kaum laki-laki (yang lain), karena boleh jadi kaum yang dihinakan itu lebih baik daripada kaum yang menghinakan, dan jangan pula kaum perempuan (menghinakan) kaum perempuan (yang lain), karena boleh jadi perempuan yang dihinakan itu, lebih baik dari perempuan yang menghinakan. Janganlah kamu cela-mencela sesama kamu dan jangan pula panggil-memanggil dengan gelaran (yang tidak baik). Seburuk-buruk nama ialah fasik sesudah keimanan. Barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang yang aniaya.
Esensi ajaran Islam adalah keselamatan dan membuat orang menjadi selamat. Karena itu, umat Islam harus menghindarkan diri dari perbuatan yang membuat orang lain terganggu, baik dari lisan maupun tangannya. ”Seorang Muslim adalah orang yang bisa membawa selamat bagi orang lain dari perkataan dan perbuatannya,” Rasulullah SAW menjelaskan. Islam juga menganjurkan seseorang untuk menghormati dan memuliakan orang lain, seperti perintah menyebarkan salam, memuliakan tamu, serta menghormati tetangga.
Pun perintah mencintai sesama Muslim sebagaimana mencintai diri sendiri. Bahkan, kepada mereka yang beragama lain pun Islam memerintahkan orang beriman agar menghormati dan menjalin kehidupan yang damai dan rukun. Sikap menghargai orang lain meliputi aspek kehidupan, seperti bersikap baik kepada saudaranya dan memiliki sifat-sifat yang baik serta bermurah hati kepadanya. Seperti ungkapan yang digambarkan oleh Allah, bahwa orang-orang beriman bersikap kasih sayang kepada sesama mukmin dan bersikap tegas kepada orang-orang kafir (QS 48: 29). 
Sebagai penutup, Kompasiana sebagai media sharing-connecting, kita jadikan sebagai media yang santun, tidak saling menciderai nuansa keharmonisan, baik sebagai umat manusia (ukhuwah insaniyah), berbangsa (ukhuwah wataniyah), dan beragama (ukhuwuh islamiyah). Berbeda pendapat adalah sesuatu yang sah dan dibolehkan oleh sistem yuridis kenegaraan kita, tapi sebuah malapetaka ketika hal kecil disulut menjadi prahara, bara yang hendak jadi abu dibubuhi sekam kebencian, membakar naluri dan nalar kita. Bukan sok suci dan menggurui, saya hanya mengharapkan “tidak ada benci di antara kita”.
 
Salam malam, salam damai selalu!
(http://sosbud.kompasiana.com/2013/06/12/bullying-budaya-dekonstruktif-568293.html)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar