A. Pedagogik Transformatif dan Perubahannya
Kenichi Ohmae (2005), seorang ahli fisika tamatan Masschussetts Institute of Technology yang menjadi ekonom melihat perubahan global tersebut menuntut dalam tiga hal yang diperlukan terutama segi ekonomi global. Ketiga hal itu sebagai berikut.
1. Perubahan teknologi,
2. Perubahan pribadi dalam menghadapi perubahan teknologi tersebut,
3. Perubahan di dalam organisasi.
Pedagogik sebagai suatu bidang ilmu sosial tentunya tidak dapat menutup mata terhadap perubahan global yang terjadi. Oleh karena pendidikan merupakan aspek kebudayaan dan kebudayaan mengalami perubahan di dalam era globalisasi. Maka proses pendidikan tidak luput dari perubahan-perubahan di dalam masyarakat. Bahkan pendidikan yang berkenan dengan pembinaan pribadi manusia seharusnya berfungsi sebagai agen perubahan itu sendiri.
Artinya masyarakat modern yang refleksif yang akan dibangun hendaknya dipersiapkan melalui proses pendidikan. Seperti yang ditunjukkan postmo dan studi kultural, modernisasi yang diinginkan dalam era globalisasi bukannya menerima segala sesuatu yang datangnya dari luar tetapi merupakan suatu modernisasi reflektif hasil kajian dari pribadi-pribadi yang menguasai ilmu pengetahuan serta dapat memilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan moral.
Arus globalisasi membawa banyak unsur, baik positif maupun yang negatif. Oleh sebab itu, seorang pribadi harus mengadakan pilihan yang intelegen. Dasar dari proses pemilihan tersebut yaitu pengetahuan, tindakan, kebiasaan yang diperoleh dari habitus seseorang dimana ia dibesarkan. Unsur penting dari suatu habitus ialah kebudayaan yang dimiliki seseorang sejak lahirnya.
Arus globalisasi jangan menyebabkan seseorang hanyut di dalam perubahan tanpa arah, tetapi dapat memilih mana yang terbaik sesuai dengan habitus seseorang. Ini artinya seseorang harus membuka diri terhadap perubahan yang terjadi di dalam masyarakat.
Proses pemilihan arah merupakan hasil tempaan dalam kehidupan seseorang. Oleh sebab itu, proses belajar mengajar tidak terbatas kepada hasil akhir tetapi terutama kepada proses dalam mencapai hasil tersebut. Pedagogik transformatif merupakan suatu proses yang mentransformasikan kehidupan ke arah yang lebih baik. Inilah yang disebut visi pendidikan pedagogik transformatif.
Pedagogik transformatif bukan hanya terfokus kepada peserta didik an sich tetapi kepada peserta didik dalam habitus budayanya yang “terus menerus menjadi”. Peserta didik dan budayanya akan berkembang dan terarah pada kehidupan bersama yang penuh tantangan karena terus-menerusberubah dengan cepat. Pedagogik tradisional seperti di dalam gerakan pendidikan progresif di arahkan kepada kebutuhan peserta didik (child centered education), dapat pula berupa society centered education. Kedua approach tersebut tidak memadai di dalam pedagogik transformatif. child centered educationmengasingkan peserta didik dari masyarakat dan kebudayaannya, sedangkan society centered education mengabaikan kemerdekaan peserta didik karena tunduk kepada kebutuhan masyarakat yang didominasi oleh struktur kekuasaan tertentu. Hal ini menghilangkan hakikat manusia yang paling asasi ialah kemerdekaannya. Demikianlah pedagogik transformatif yang dinamis yang terus menerus mengantisipasi perubahan yang akan datang.
B. Strategi Pedagogik Transformatif menghadapi Perubahannya
Seperti yang di kemukakan Kenichi Ohmae (2005) dalam Tilaar (2005)bahwa di dalam di dalam bidang ekonomi perlu disusun dan direncanakan secara strategis untuk menghadapi perubahan yang cepat tersebut. Dalam bidang pendidikan, strategi yang sama dapat dan perlu dikembangkan.
1. Revolusi Teknologi
Menghadapi perubahan yang besar yang diakibatkan oleh perkembangan yang sangat cepat dalam teknologi informasi, proses pendidikan perlu memanfaatkan kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh teknologi informasi di dalam pengembangan individu maupun organisasi pendidikan. Di dalam memanfaatkan revolusi teknologi informasi yang penting adalah kita perlu menjaga agar tidak jatuh kepada proses robotisasi pendidikan. Teknologi adalah sekedar alat untuk komunikasi bukan sebaliknya. Janganlah teknologi informasi dan komunikasi dijadikan dewa penyelamat untuk dapat mengatasi semua masalah pendidikan. Kita jangan melupakan bahwa manusia bukanlah robot karena manusia adalah makhluk yang dikaruniai Sang Pencipta dengan kemerdekaan dan daya ciptanya.
Hal ini berarti kreativitas tetap mengatasi kemampuan teknologi. Bukankah kemajuan teknologi itu sendiri merupakan buah karya cipta manusia? Jadi teknologi informasi menjadi sarana untuk manusia dalam mengembangkan dirinya untuk menghadapi perubahan-perubahan secara cepat. Bukan sebaliknya, manusia sebagai alat dari teknologi komunikasi sehingga manusia itu sekedar menjadi pelaksana dari teknologi itu sendiri. Kalau demikian halnya, maka terjadilah proses dehumanisasi di dalam proses belajar dan proses pemanusiaan. Semuanya serba otomotis tanpa perasaan, tanpa kegalauan dan tanpa apresiasi keindahan.
Revolusi teknologidengan demikian tidak membawa manusia hidup dalam suatu dunia yang digambarkan oleh George Orwell (1984) dimana kebebasan individu menghilang di bawah kontrol “the big brother” yang memata-matai gerak-gerak manusia yang tidak mengenal lagi dunia privat.
Di dalam revolusi teknologi terjadi apa yang disebut kompresi waktu dan ruang. Hal ini berarti kehidupan berjalan serba cepat bahkan penuh persaingan. Freidmen mengatakan bahwa dunia tidak lagi bulat, tetapi dunia yang rata. Hal ini berarti segala sesuatu berjalan menjadi transparan, yang membuka kesempatan yang sama kepada semua orang.
2. Perubahan Pribadi
Apabila lingkungan kita berubah dengan cepat meminta yang sama dari sikap pribadi yang hidup dalam lingkungan tersebut. Kontradiksi sikap yang timbul akan mengantar manusia yang tidak kreatif dan kontrproduktif bisa berakhir perusakan likungan. Menghadapi perubahan lingkungan yang cepat diperlukan pribadi yang pro aktif.
Kemampuan adaptif berarti kemampuan memilih atau selektif terhadap hal yang positif maupun negatif pada habitat seseorang. Sikap adaptif yang selektif terhadap perubahan berarti pula kemampuan berpartisipasi di dalam perubahan yang terjadi. Manusia di era globalisasi bukanlah manusia yang bertindak kontemplatif tetapi “man of action”, manusia yang bertindak. Dengan demikian perubahan yang terjadi akan merupakan perubahan yang terarah oleh nilai-nilai kemanusiaan (human values).
Di dalam sikap partisipatif yang positif itu jelas proses pendidikan, bukanlah merupakan suatu proses pengisian botol kosong atau yang seperti dikemukakan oleh Paulo Freire (1985) sebagai proses seperti dalam sistem perbankan (banking system) dalam arti penguasaan subject matter sebanyak-banyaknya.
Pendidikan bukan merupakan suatu proses yang menyuguhkan kompetensi-kompetensi tertentu yang belum tentu dapat dimanfaatkan dalam memecahkan masalh kehiduan yang mana kehidupan selalu mengalami perubahan. Yang benar adalah adalah lembaga pendidikan yang bertujuan mempersiapkan pribadi-pribadi yang siapbelajar dengan partisipasi di dalam kehidupan. Proses belajar mengajar merupakan proses yang berkesinambungan atao long lifes education.
3. Perubahan di dalam Organisasi
Lembaga pendidikan atau sekolah merupakan suatu lembaga sosial formal dimana terjadi proses pendidikan. Sekolah merupakan suatu organisasi. Setiap organisasi atau lembaga sosial mempunyai struktur organisasi, fungsi, dan kepemimpinan sendiri. Secara keseluruhan suatu organisasi sosial hanya dapat berfungsi apabila dia menjawab kebutuhan yang diharapkan oleh masyarakat dari lembaga sosial itu berada.
Sekolah biasanya merupakan suatu culture lag di dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena sekolah dianggap sebagai lembaga dimana terjadi transfer kubudayaan dari satu generasi ke generasi sesudahnya, dengan kata lain sekolah merupakan sarana kesinambungan suatu masyarakat. Menghadapi perubahan, sekolah harus membuka diri dari perubahan-perubahan yang terjadi bahkan lembaga tersebut harus menjadi pelopor perubahan itu sendiri. Ini diperlukan agar terjadi akselerasi perubahan yang antisipatif dan pro aktif.
Lembaga pendidikan yang adaptif terhadap perubahan masyarakat pertama haruslah berada di dalam arus perubahan masyarakat itu sendiri. Lembaga sekolah bukannya menjadi penghalang, tetapi merupakan laboratorium perubahan itu sendiri. Peserta didik yang ada di dalamnya mesti ekuivalen dengan perubahan sekolah dan masyarakat sehingga perlu ditanamkan sikap yang kreatif dan transformatif di dalam masa pengembangannya.
Inilah lembaga pendidikan yang progresif yang bukan menantang globalisasi tetapi menerima secara refleksif perubahan dalam masyarakat dan mengarahkannya demi meningkatkan taraf hidup anggota masyarakatnya. Lembaga pendidikan yang demikian berarti milik masyarakat yang dinamis. Masyarakat yang berubah memiliki atau menjadi shareholder dari lembaga pendidikannya dan terciptalah kondisi pengembangan kreativitas serta kerja sama positif peserta didik di dalam mengembangkan berbagai kompetensi yang diantisipasikan dituntut di dalam perubahan masyarakat masa depan.
C. Pentingnya Tradisi "Kebebasan Berpikir" dalam Pedagogik Kritis
Kita mungkin masih ingat, kerap sebuah pameo dilontarkan di tengah masyarakat, bahwa bila terjadi pergantian seorang menteri maka akan berganti pula kebijakannya, dan biasanya akan diikuti pula dengan perubahan kurikulum yang digunakan sesuai dengan selera bapak menteri yang baru tadi. Apakah pameo ini benar? Kita akan sulit mendapat jawabannya dengan pasti. Tetapi, kebijakan pendidikan yang sering berubah bila seorang menteri yang baru tampil, adalah sebuah fakta. Oleh karena itulah, karena pameo tidak boleh diyakini sebagai fakta maka masyarakat sering dibuat bingung.
Isu pendidikan yang kini sedang hangat dibicarakan di masyarakat adalah masalah merosot dan rendahnya mutu pendidikan kita. Gejalanya dapat dilihat dari banyaknya sekolah-sekolah eksklusif yang dibangun pihak swasta yang menjanjikan sistem pendidikan prima, lengkap dengan fasilitas dan guru-guru asingnya, atau semakin "berbondong-bondongnya" orang kaya menyekolahkan anaknya ke luar negeri dengan harapan mereka mendapat pendidikan yang lebih baik. Lantas, jika demikian apa yang sebenarnya terjadi dengan dunia pendidikan kita ?
Tradisi kebebasan berpikir
Masalah mutu pendidikan tampaknya telah menjadi keprihatinan berbagai pihak. Banyak pakar membicarakannya, mereka tidak hanya berasal dari kalangan yang ahli di bidang teknis pendidikan semata, tetapi juga para pengamat berbagai disiplin ilmu yang merasa prihatin atas kondisi ini. Dengan "urun rembuk-nya" mereka dalam persoalan ini semakin menambah pemahaman kita akan pentingnya masalah ini agar segera cepat dibenahi. Ini menunjukkan, bahwa ternyata masalah kemerosotan kualitas pendidikan semakin kompleks dan pelik. Ia tidak hanya menyangkut hal-hal yang bersifat teknis kependidikan semata, seperti kurikulum, rasio guru-murid, sistem pengajaran, sarana dan fasilitas, tetapi juga tidak terlepas dari kondisi sosiokultural masyarakat.
Suatu fenomena yang erat kaitannya dengan menurunnya kualitas pendidikan adalah kurang suburnya tradisi kebebasan berpikir kreatif di dalam masyarakat. Apa yang dimaksud dengan kebebasan berpikir kreatif di sini adalah suatu budaya di mana output intelektualitas seseorang sangat dihargai, ia tidak hanya berupa simbol-simbol dan status akademik yang selama ini banyak dipuji-puji dan dikagumi. Tetapi yang lebih penting di sini adalah kemampuan riil yang dihasilkan atas kemampuan intelektual seseorang. Kemampuan riil inilah yang kita tidak bisa mengukurnya dengan hanya nilai angka.
Kondisi tidak kondusif seperti di atas diakui tumbuh subur pada masyarakat kita dan sulit dipisahkan dari perilaku kita sehari-hari. Misalnya orangtua begitu mendambakan anaknya menjadi sarjana, karena kalau anaknya tidak menyandang gelar sarjana, gengsi keluarga menjadi taruhannya. Atau bila sang anak telah lulus kuliah ia harus bekerja di kantor pemerintah menjadi pegawai negeri, atau bila ia bekerja di perusahaan swasta, harus lebih dulu tahu apakah perusahaan itu "bonafide" atau tidak.
Di sini jelas terlihat keberhasilan anak yang ditandai dengan memperoleh predikat sarjana atau status pegawai negeri seolah-olah dianggap sebagai suatu yang luar biasa. Tetapi bagaimana ketika "puncak harapan" itu sirna dan si anak harus mulai berkiprah di dalam masyarakat, atau ia dihadapkan dengan persaingan mencari pekerjaan yang ternyata sulit. Di sini tidak jarang ia mengalami suatu keadaan yang sebaliknya. Jika semula ia dikagumi karena status kesarjanaannya, kini ia dipojokkan karena simbol kesarjanaannya, bahkan yang lebih tragis lagi bila sang anak sudah didudukkan sebagai tonggak harapan keluarga.
Perilaku sosiokultural masyarakat Indonesia seperti ini bukanlah khayalan, tetapi nyata terdapat dalam masyarakat kita. Kondisi ini dapat terjadi karena beberapa faktor, di antaranya: di dalam keluarga masih terdapat adanya kesenjangan pemikiran antara orangtua dan anak yang keduanya hidup dalam dunia yang berbeda, se-dang mereka tidak dapat saling memahami satu-sama lain, atau masyarakat kita yang lebih melihat orang bertitel dari pihak orang yang berkemampuan namun tidak bertitel, begitu juga dengan pasaran kerja yang lebih melihat gelar seseorang daripada kemampuan seseorang.
Pola interaktif
Faktor lain yang bisa menghambat tumbuhnya tradisi kebebasan berpikir bagi anak didik adalah adanya "mitos" bahwa orangtua harus selalu berada pada posisi yang dominan, dan tidak dibenarkan seorang anak memiliki pemikiran lain kecuali menuruti kehendak berpikir orangtuanya. Contoh lain, bisa dilihat dalam hubungan guru-murid atau dosen-mahasiswa. Selama ini ukuran pintar tidaknya seorang murid atau mahasiswa didasarkan atas nilai formalnya. Seorang murid dengan nilai yang tinggi akan dihargai secara simbolis berupa predikat sang juara atau teladan. Tetapi bagaimana dengan nasib siswa yang sebenarnya memiliki kemampuan berpikir kreatif yang tinggi dan bersikap kritis, namun tidak dapat memunculkannya dalam nilai-nilai angka. Karena tiadanya penilaian atau metode evaluasi objektif yang sesuai dengan pola pikir anak. Masa depan anak berkemampuan seperti inilah yang tidak jarang lebih buruk nasibnya dibanding mereka yang tidak pintar sekali pun. Karena mereka secara konseptual sudah terpinggirkan dari "gelanggang" pengajaran yang "diwasiti" oleh guru.
Di dunia pendidikan, jika sistem pengajaran tidak kondusif bagi pertumbuhan sikap kritis dan berpikir kreatif, maka bisa dimengerti bila murid kemudian cenderung bersikap pasif dan masa "bodoh". Mereka sekadar menuruti apa yang dikatakan oleh gurunya di sekolah, tetapi tidak di luar sekolah. Murid sekadar mengikuti dan menerima pelajaran, namun bukan mengerti dan mempelajari apa yang diberikan oleh gurunya karena tiadanya rangsangan dan dorongan untuk benar-benar memahami.
Persoalan di atas selanjutnya berakibat pada rendahnya kemampuan nyata yang mereka dapatkan sehari-hari. Dihadap-kan pada kondisi ini guru tidak jarang mencoba mengkatrol nilai anak didiknya sendiri, jika guru tidak ingin dikatakan gagal dalam melaksanakan tugasnya. Fenomena ini semakin lama menjadi kebiasaan, sesuatu yang boleh dikatakan sebagai salah satu sebab merosotnya mutu pendidikan. Dengan adanya budaya katrol, secara tidak sadar guru "memaksa" murid untuk tidak perlu belajar keras, tidak berusaha mencari tahu apa kekurangan dan kesulitannya, serta tidak tahu apa yang sebenarnya dia cari di sekolah.
Kasus yang pernah hangat seperti manipulasi UN (Ujian Nasional) oleh para guru atas anak didiknya semakin memperkuat asumsi di atas, atau prasyarat UN yang diberlakukan oleh pemerintah untuk bisa masuk ke suatu sekolah atau jenjang pendidikan. Atas kondisi-kondisi di atas, maka boleh dikatakan dunia pendidikan kita (tampaknya) saat ini tengah terjadi suatu dilema yang sangat membingungkan. Di satu pihak guru harus mempertahankan nama baik sekolahnya di mata masyarakat, sedang di lain pihak guru harus pula membantu anak didiknya "mempertinggi" nilai UN agar ia dapat lulus atau masuk ke sekolah tertentu. Maka, dengan menyadari bahwa selama ini kita tidak mencoba menerapkan tradisi kebebasan berpikir kreatif sebagai elemen sistem pendidikan, paling tidak kita telah menemukan satu akar permasalahan mengapa mutu pendidikan kita agak tertinggal.
Konsistensi sistem
Dengan menyadari tidak berkembangnya tradisi kebebasan berpikir dalam dunia pendidikan seperti sekarang, satu alternatif yang bisa dicoba adalah melakukan perubahan secara nyata berupa perombakan kebiasaan berpikir, baik di dalam lingkungan keluarga maupun sekolah.
Dari uraian di atas kita bisa menarik kesimpulan, bahwa masalah pendidikan sebenarnya merupakan persoalan kita bersama. Persoalan masyarakat, persoalan keluarga, dan persoalan pemerintah. Dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan ternyata harus juga disertai dengan tradisi kebebasan berpikir dan berkreasi, seraya mengembangkan nilai-nilai demokratis di antara kita sendiri. Namun, itu pun dengan syarat bahwa kebijakan pendidikan tidak harus berganti seiring dengan bergantinya seorang policy maker. Oleh karena itu harus diyakini bersama, siapa pun menteri yang naik bila sistemnya baik akan berjalan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar