Rencana
malam ini mau meng-input data-data hasil penelitian, tapi karena asyik
membaca artikel dan opini-opini yang ada di Kompasiana, semua itu
terlewatkan. Sejak siang tadi, bacaan saya lebih tertarik pada tulisan Deandra dan Anindya GK.
Subjek ketertarikannya tentunya karena kedua tulisan ini berada dalam
“medan perang” ide dan kreatifitas, dan saling menonjolkan ke-aku-annya.
Saya tidak tahu sebab musababnya, tapi yang pastinya mereka berdua lagi
“bermusuhan”. Saya tidak mau terjebak dalam kondisi yang tidak nyaman
itu, saya lebih tertarik pada prilaku “Bullying” diantara mereka dan
hobi mencela diantara sesama manusia. Setelah membaca tulisan mereka,
segera mencari referensi tentang BULLYING itu, alhamdulillah saya
menemukan buku psikologi, filsafat, agama, dan beberapa artikel yang
berkaitan dengan hal tersebut.
Bullying Merupakan Prilaku Menyimpang
Definisi bullying seperti disebutkan dalam psychologymania.com
merupakan sebuah kata serapan dari bahasa Inggris. Istilah Bullying
belum banyak dikenal masyarakat, terlebih karena belum ada padanan kata
yang tepat dalam bahasa Indonesia (Susanti, 2006). Bullying berasal dari
kata bully yang artinya penggertak, orang yang mengganggu orang yang
lemah. Beberapa istilah dalam bahasa Indonesia yang seringkali dipakai
masyarakat untuk menggambarkan fenomena bullying di antaranya adalah
penindasan, penggencetan, perpeloncoan, pemalakan, pengucilan, atau
intimidasi (Susanti, 2006).
Bullying adalah salah satu bentuk interaksi peer victimization yaitu
interaksi yang menjadikan salah satu anggota kelompok atau teman
sebagai target rutin dari kekerasan fisik maupun kekerasan
verbal. Fenomena Bullying sebenarnya adalah salah satu dari bentuk
perilaku agresif. Perilaku agresif didefinisikan sebagai salah satu
kategori perilaku yang menyebabkan atau mengancam luka fisik pada orang
lain. Agresif disini mengarah pada perilaku yang bervariasi termasuk
agresif verbal, Bullying, perkelahian, perampokan/pemalakan, pemerkosaan
dan pembunuhan. Rigby (2003) menguraikan unsur-unsur yang
terkandung dalam pengertian bullying yakni antara lain keinginan untuk
menyakiti, tindakan negatif, ketidakseimbangan kekuatan, pengulangan
atau repetisi, bukan sekedar penggunaan kekuatan, kesenangan yang
dirasakan oleh pelaku dan rasa tertekan di pihak korban.
Rigby (2003) menguraikan juga beberapa karakteristik pelaku bullying, diantaranya: tidak matang secara emosional, tidak mampu menjalin hubungan akrab, kurang kepedulian terhadap orang lain, moody dan tidak konsisten, mudah marah dan impulsive, dan tidak memiliki rasa bersalah atau menyesal. Sedangkan faktor penyebabnya adalah kecemasan dan perasaan inferior dari seorang pelaku, persaingan yang tidak realistis, perasaan dendam yang muncul karena permusuhan atau juga karena pelaku bullying pernah menjadi korban bullying sebelumnya, dan ketidak mampuan menangani emosi secara positif (Rahma, 2008).
Berdasarkan
pandangan-pandangan di atas, dapat disimpulkan bullying merupakan
prilaku menyimpang dan mempunyai efek jangka panjang ketika pelaku dan
korban tidak menemukan kata damai. Bullying merupakan
bentuk awal dari perilaku agresif yaitu tingkah laku yang kasar. Bisa
secara fisik, psikis, melalui kata-kata, ataupun kombinasi dari
ketiganya. Hal itu bisa dilakukan oleh kelompok atau individu.
Ketidakseimbangan yang tercipta akibat budaya bullying ini akan semakin
menenggelamkan sisi kemanusiaan, yaitu semangat saling menghargai,
menghormati dan toleransi. Dalam konsepsi Bugis-Makassar, sudah semakin
nihil siri’ na pacce-nya, hilang budaya sipakatau, sipakainge‘ dan sipatokkong.
Islam Melarang Bullying
Tindakan
bullying merupakan salah satu bentuk penganianyaan. Dalam islam,
penganianyaan termasuk perbuatan yang tidak terpuji. Apalagi
penganianyaan terhadap sesama manusia. Seperti yang telah tertulis dalam
Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 30 yang artinya “Barang
siapa memperbuat demikian itu, dengan melampaui batas dan aniaya, nanti
akan kami masukkan dia ke dalam neraka. Yang demikian itu amat mudah
bagi Allah” dan surat Al-Hujurat ayat 11 yang artinya “Hai
Orang-orang yang beriman, janganlah kaum laki-laki menghinakan kaum
laki-laki (yang lain), karena boleh jadi kaum yang dihinakan itu lebih
baik daripada kaum yang menghinakan, dan jangan pula kaum perempuan
(menghinakan) kaum perempuan (yang lain), karena boleh jadi perempuan
yang dihinakan itu, lebih baik dari perempuan yang menghinakan.
Janganlah kamu cela-mencela sesama kamu dan jangan pula
panggil-memanggil dengan gelaran (yang tidak baik). Seburuk-buruk nama
ialah fasik sesudah keimanan. Barang siapa yang tidak bertaubat, maka
mereka itulah orang yang aniaya.”
Esensi
ajaran Islam adalah keselamatan dan membuat orang menjadi selamat.
Karena itu, umat Islam harus menghindarkan diri dari perbuatan yang
membuat orang lain terganggu, baik dari lisan maupun tangannya. ”Seorang Muslim adalah orang yang bisa membawa selamat bagi orang lain dari perkataan dan perbuatannya,”
Rasulullah SAW menjelaskan. Islam juga menganjurkan seseorang untuk
menghormati dan memuliakan orang lain, seperti perintah menyebarkan
salam, memuliakan tamu, serta menghormati tetangga.
Pun
perintah mencintai sesama Muslim sebagaimana mencintai diri sendiri.
Bahkan, kepada mereka yang beragama lain pun Islam memerintahkan orang
beriman agar menghormati dan menjalin kehidupan yang damai dan rukun.
Sikap menghargai orang lain meliputi aspek kehidupan, seperti bersikap
baik kepada saudaranya dan memiliki sifat-sifat yang baik serta bermurah
hati kepadanya. Seperti ungkapan yang digambarkan oleh Allah, bahwa
orang-orang beriman bersikap kasih sayang kepada sesama mukmin dan
bersikap tegas kepada orang-orang kafir (QS 48: 29).
Sebagai penutup, Kompasiana sebagai media sharing-connecting,
kita jadikan sebagai media yang santun, tidak saling menciderai nuansa
keharmonisan, baik sebagai umat manusia (ukhuwah insaniyah), berbangsa
(ukhuwah wataniyah), dan beragama (ukhuwuh islamiyah). Berbeda pendapat
adalah sesuatu yang sah dan dibolehkan oleh sistem yuridis kenegaraan
kita, tapi sebuah malapetaka ketika hal kecil disulut menjadi prahara,
bara yang hendak jadi abu dibubuhi sekam kebencian, membakar naluri dan
nalar kita. Bukan sok suci dan menggurui, saya hanya mengharapkan “tidak
ada benci di antara kita”.
(http://sosbud.kompasiana.com/2013/06/12/bullying-budaya-dekonstruktif-568293.html)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar