“Sesuatu yang buruk, tapi karena dianggap biasa dan dibiasakan akan menjadi budaya” (anonim)
Realitas
kebangsaan kita memang dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan.
Bangunan yuridis UUD 1945 dan Pancasila tidak lagi kokoh, karena secara
de facto, pemerintahan kita seakan telah menerapkan sistem kehidupan
yang tidak mencerminkan falsafah hidup negara. Sistem ekonomi sudah
mengabdi pada kapitalisme, sistem pendidikan yang absur dan semakin
tidak humanis, sistem hukum seperti barbarian saja, dan masih banyak
kondisi real kehidupan berbangsa yang begitu memiriskan. Demokrasi
sekarang menjadi kleptokrasi.
Kleptokrasi berasal dari bahasa Latin (kleptein dan cracy), yang berarti mencuri (to steal) atau mengambil paksa sesuatu yang bukan menjadi hak (to rob).
Negara kleptokrasi adalah sebuah negara yang dalam praktik
penyelenggaraan pemerintahan ditandai oleh keserakahan, ketamakan, dan
korupsi yang merajalela (a government characterized by rampant greed and corruption) (Alhumami, 2005). Inilah yang terjadi saat ini. Keserakahan, ketamakan, dan korupsi yang ada pada awalnya sesuatu yang dicela, karena dianggap biasa dan dibiasakan, maka keserakahan, ketamakan, dan korupsi sekarang telah menjadi budaya baru.
Indonesia
saat ini bisa disamakan kondisinya dengan beberapa negara yang pernah
mengalami hal yang serupa. Sebut saja Iran di zaman Shah Reza Pahlevi,
Zaire pada masa Mobutu Sese Seko, Rumania pada era Nicolae Ceausescu,
Chile pada zaman Augusto Pinoche, Filipina pada masa dua kepresidenan
Ferdinand Marcos dan Joseph Estrada. Negara kleptokrasi adalah negara
yang dikendalikan oleh aparatur-aparatur korup, yang bersekongkol dengan
pengusaha hitam untuk menguras kekayaan negara demi kepentingan
pribadi. Para penguasa dan kroni-kroninya menggunakan mekanisme resmi di
dalam administrasi pemerintahan negara atau memanfaatkan kekuasaan
untuk melakukan tindakan ilegal, antara lain, memanipulasi dan
menggelapkan pajak, melakukan pencucian uang, mengelola bisnis gelap,
menjadi pelindung atau pelaku dagang dalam black market
, menjadi cukong pembalakan liar, atau menjadi bandar peredaran narkoba.
Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah di dunia pendidikan atau akademik kita tidak ada kleptokrat?
Semua
dimensi kehidupan berbangsa saat ini sudah dirasuki keserakahan,
ketamakan, dan korupsi, termasuk di dalamnya dunia pendidikan kita.
Karut marut pelaksanaan ujian nasional (UN) tidak lepas dari
keserakahan, ketamakan, dan korupsi aparat yang memegang tanggungjawab.
Tender pencetakan lembar soal dan jawaban yang tidak transparan dan
terindikasi korupsi, permainan anggaran UN yang besar, kualitas lembar
jawaban yang kurang, praktek mafia penyedia jawaban, dan lain
sebagainya. Itu baru dari pelaksanaan UN, belum kita lihat dunia
akademik secara keseluruhan.
Dunia
akademik adalah dunia para kaum cendikiawan dan terpelajar. Seyogyanya,
kaum cendikia dan terpelajar ini jauh dari hiruk pikuk keserakahan,
ketamakan, dan korupsi. Dalam idealisasi itu, cendekiawan dipandang
sebagai makhluk suci yang jauh dari perangai buruk dan perilaku tercela.
Cendekiawan adalah resi yang selalu berkhotbah tentang pentingnya
menjalani kehidupan berdasarkan prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai
luhur: kejujuran, kebajikan, kebersihan, dan asketisme; mengutamakan
pengabdian yang tulus dan kerja-kerja kemanusiaan; menyeru pada kebaikan
dan kemaslahatan; dan menolak laku hidup yang bertentangan dengan etika
dan keadaban. Pandangan ideal itu selalu menempatkan sosok cendekiawan
sebagai pejuang kebenaran, penegak keadilan, dan sumber inspirasi dalam
mengelola kekuasaan dan menjalankan pemerintahan demi kesejahteraan
rakyat.
Sayangnya
konsep ideal itu sekedar idealisasi saja, banyak yang menyebut dirinya
cendikiawan dan menyandang gelar akademik yang tinggi tidak memiliki
nilai-nilai luhur. Anggota DPR pusat hingga daerah, kepala pemerintahan
semua struktur, pos-pos pemerintahan, dan posisi lainnya baik di
yudikatif, legislatif, dan eksekutif adalah orang-orang terpelajar dan
diantara mereka adalah cendikia, tapi mereka masih korupsi. Banyak guru
besar, professor, dosen dan guru tergelincir ke lembah keserakahan,
ketamakan, dan korupsi.
Guru besar dan professor lebih sering mencari proyek daripada mengajar di kelas dan dihadapan mahasiswa (http://edukasi.kompasiana.com/2013/05/02/ironisnya-sang-profesor-552144.html),
dosen lebih sibuk penelitian dibanding mengajar, guru malas masuk kelas
mengajar muridya, budaya plagiat karya ilmiah dianggap lumrah, guru dan
dosen menjual buku dan LKS di kelas, dan masih banyak prilaku
menyimpang lainnya.
Lalu
mengapa kaum cendekiawan dan akademisi sampai larut dalam praktik
tercela ini? Semua itu lantaran mereka telah terperangkap oleh gaya
hidup konsumerisme, hedonisme, dan materialisme. Kita mengamati gejala
umum di masyarakat yang cenderung menonjolkan sisi gemerlap dalam
kehidupan sehari-hari. Kini banyak orang memuja kemewahan sehingga
mereka terdorong untuk berkompetisi dan mengungguli satu sama lain.
Menyedihkan, mereka demikian bernafsu mengumpulkan uang bukan sekadar
untuk mencukupi kebutuhan hidup secara layak, tetapi berupaya saling
mengalahkan dan memamerkan kemewahan.Untuk memenuhi hasrat hedonistik
dan nafsu menumpuk materi itu, mereka sama sekali tak peduli bila harus
melakukannya dengan cara tidak terpuji. Asketisme, kesederhanaan, dan
ketulusan yang selama ini menjadi atribut kaum cendekiawan dan akademisi
kini mulai tergerus oleh kecenderungan sikap dan perilaku memuja materi
dan kemewahan.
Kini
para cendekiawan mungkin merasa lelah menjalani hidup sederhana, tidak
kuat lagi berlarian mengejar bis kota di tengah terik matahari,
berdesak-desakan di dalam angkutan umum yang panas, pengap, dan
berpeluh. Mereka tergoda oleh imajinasi kehidupan metropolitan nan mewah
dan memandang gengsi sosial sebagai hal yang paling utama. Akhirnya,
mereka tunduk pada kekuatan materi yang mengundang pesona. Namun mereka
lupa, materi, kemewahan, dan gengsi sosial tak sama dengan martabat
mulia, apalagi bila semua itu diperoleh melalui korupsi.
Saatnya
kita sadar, orang yang mengaku cendikia dan terpelajar, segeralah
tanamkan kembali jiwa-jiwa asketisme, kesederhanaan, dan ketulusan.
Masih banyak orang yang membutuhkan ilmu dan pengetahuan kita, lebih
baik kita mengabdi kepada mereka yang butuh, bukan lagi terjebak dalam
keserakahan, ketamakan, dan korupsi. Kembalilah ke habitus semula!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar